Oleh: Fath Astri Damayanti
Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) mengajukan uji materi terhadap pasal-pasal KUHP ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang pun dimulai tanggal 14 Desember 2017 lalu, pasal yang diajukan diantaranya Pasal 284 tentang perzinahan, Pasal 285 tentang perkosaan dan Pasal 292 tentang pencabulan anak. Hasil persidangan, MK menolak permohonan tersebut dengan alasan MK tidak memiliki kewenangan untuk membuat aturan baru dan pasal-pasal KUHP yang diuji materikan tidak bertentangan dengan konstitusi (BBC Indonesia).
Putusan tersebut menjadi angin segar bagi pelaku LGBT di Indonesia, yang awalnya tertutup kini mulai terang-terangan menampakkan bahwa dirinnya mendukung dan pelaku LGBT. Bisa kita lihat bagaimana giat pendukung LGBT di media sosial, bahkan pelaku pun tak segan-segan lagi memamerkan kemesraannya dengan teman sejenisnya tanpa ada rasa risih sedikitpun. Tentu saja ini mengundang rasa was-was, bagaimana nasib generasi penerus kita kelak. Akankah terlahir generasi baru dari pasangan semacam ini? Tentu sebuah hal yang mustahil. Kemudian viral ungkapan seorang pendukung LGBT bahwa pasangan sesama jenis bisa menghasilkan keturunan dengan cara sewa rahim. Pendapat ini pun banyak menuai komentar pro dan kontra, lantas apakah dengan solusi seperti itu semua masalah selesai? Tidak!. Justru akan muncul masalah lain entah pihak wanita yang menyewakan rahim atau dari anak yang terlahir tadi yang nasabnya sudah rusak.
LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual, Transgender) adalah sebah istilah yang digunaka untuk mengganti frasa komunitas gay atau komunitas yang memiliki orientasi seks terhadap sesama jenis. Diperkirakan LGBT ini muncul di tahun 1960 an dimana pada saat itu Eropa menuntut persamaan hak legalitas tanpa memandang orientasi seksual mereka. Tahun 1988 Amerika meresmikan LGBT. Fenomena ini terus dan terus berkembang dengan pesat di negara-negara yang mengusung kebebasan, termasuk Indonesia.
Di zaman Nabi Luth, tanah dibalik meluluhlantakkan kaum sodom. Apakah menunggu hal yang sama terjadi di Indonesia baru para pelaku LGBT sadar?. Perilaku LGBT ini tentu meresahkan belum lagi penyakit yang menjangkiti para penyuka seama jenis ini, banyak penelitian yang menyebutkan bahwa populasi penderita HIV/AIDS tertinggi adalah mereka yang berperilaku homoseksual. Dalam investigasi olrh Centers for Disease Control and Preventation di Amerika ditemukan bahwa penularan terbesar melalui hubungan homoseks (kompasiana.com). Di Kota Depok data terbaru menyebutkan akibat hubungan sesama jenis 174 orang menderita HIV, periode 2013-2016 Kota Depok terdapat 691 penderita HIV (JawaPos.com). Di Riau, dalam hitungan dua tahun terakhir penyebaran HIV/AIDS di kalangan LGBT semakin meluas, dari data awalnya terjadi 0,1% kini meningkat menjadi 0,7 penularannya (detikcom). Berdasarkan per Januari-Maret 2017, terdapat 75 orang yang terdeteksi kasus baru HIV/AIDS. Dari jumlah tersebut sekitar 32% berasal dari populasi lelaki seks lelaki (LSL) dan selebihnya tertular dari pelanggan PSK, pasangan dan lainnya (Procal.co). Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, dr. Dewi Inong Irana menyatakan hubungan seks yang bisa menularkan inveksi Menular Seksual (IMS) paling tinggi adalah hubungan kelamin lewat dubur dan pelaku LGBT mempunyai resiko tertingggi untuk tertular IMS dan HIV/AIDS, bahkan data dari Kementerian Kesehatan Amerika menyebutkan 55% penderita AIDS di Amerika adalah LGBT (Hidayatullah.com).
Bukan hanya penyakit saja yang bisa ditularkan, tetapi juga mengakibatkan rusaknya kehidupan para pelaku LGBT. Yang lebih berbahaya ketika gerakan LGBT ini menjadi gerakan politik dengan adanya intervensi asing dan menyebabakan turunnya jumlah populasi di suatu negara. Ada pula yang berdalih bahwa LGBT adalah faktor genetik, sifat bawaan yang menetukan orang tersebut gay, lesbi dan sebagainya. Perilaku ini sudah menjadi gaya hidup (lifestyle) liberal yang bernaung dalam demokrasi dan hak asasi manusia. Adanya jaminan kebebasan berekspresi akan membolehkan setiap orang melakukan apa saja, selama tidak dengan paksaan. Dengan adanya perlindungan dan diakuinya LGBT di Indonesia tinggal menunggu waktu pernikahan sesama jenis akan dilegalkan. Jadi, masihkah kita berdiam diri melihat kerusakan yang nyata di tengah-tengah umat? ***
Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) mengajukan uji materi terhadap pasal-pasal KUHP ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang pun dimulai tanggal 14 Desember 2017 lalu, pasal yang diajukan diantaranya Pasal 284 tentang perzinahan, Pasal 285 tentang perkosaan dan Pasal 292 tentang pencabulan anak. Hasil persidangan, MK menolak permohonan tersebut dengan alasan MK tidak memiliki kewenangan untuk membuat aturan baru dan pasal-pasal KUHP yang diuji materikan tidak bertentangan dengan konstitusi (BBC Indonesia).
Putusan tersebut menjadi angin segar bagi pelaku LGBT di Indonesia, yang awalnya tertutup kini mulai terang-terangan menampakkan bahwa dirinnya mendukung dan pelaku LGBT. Bisa kita lihat bagaimana giat pendukung LGBT di media sosial, bahkan pelaku pun tak segan-segan lagi memamerkan kemesraannya dengan teman sejenisnya tanpa ada rasa risih sedikitpun. Tentu saja ini mengundang rasa was-was, bagaimana nasib generasi penerus kita kelak. Akankah terlahir generasi baru dari pasangan semacam ini? Tentu sebuah hal yang mustahil. Kemudian viral ungkapan seorang pendukung LGBT bahwa pasangan sesama jenis bisa menghasilkan keturunan dengan cara sewa rahim. Pendapat ini pun banyak menuai komentar pro dan kontra, lantas apakah dengan solusi seperti itu semua masalah selesai? Tidak!. Justru akan muncul masalah lain entah pihak wanita yang menyewakan rahim atau dari anak yang terlahir tadi yang nasabnya sudah rusak.
LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual, Transgender) adalah sebah istilah yang digunaka untuk mengganti frasa komunitas gay atau komunitas yang memiliki orientasi seks terhadap sesama jenis. Diperkirakan LGBT ini muncul di tahun 1960 an dimana pada saat itu Eropa menuntut persamaan hak legalitas tanpa memandang orientasi seksual mereka. Tahun 1988 Amerika meresmikan LGBT. Fenomena ini terus dan terus berkembang dengan pesat di negara-negara yang mengusung kebebasan, termasuk Indonesia.
Di zaman Nabi Luth, tanah dibalik meluluhlantakkan kaum sodom. Apakah menunggu hal yang sama terjadi di Indonesia baru para pelaku LGBT sadar?. Perilaku LGBT ini tentu meresahkan belum lagi penyakit yang menjangkiti para penyuka seama jenis ini, banyak penelitian yang menyebutkan bahwa populasi penderita HIV/AIDS tertinggi adalah mereka yang berperilaku homoseksual. Dalam investigasi olrh Centers for Disease Control and Preventation di Amerika ditemukan bahwa penularan terbesar melalui hubungan homoseks (kompasiana.com). Di Kota Depok data terbaru menyebutkan akibat hubungan sesama jenis 174 orang menderita HIV, periode 2013-2016 Kota Depok terdapat 691 penderita HIV (JawaPos.com). Di Riau, dalam hitungan dua tahun terakhir penyebaran HIV/AIDS di kalangan LGBT semakin meluas, dari data awalnya terjadi 0,1% kini meningkat menjadi 0,7 penularannya (detikcom). Berdasarkan per Januari-Maret 2017, terdapat 75 orang yang terdeteksi kasus baru HIV/AIDS. Dari jumlah tersebut sekitar 32% berasal dari populasi lelaki seks lelaki (LSL) dan selebihnya tertular dari pelanggan PSK, pasangan dan lainnya (Procal.co). Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, dr. Dewi Inong Irana menyatakan hubungan seks yang bisa menularkan inveksi Menular Seksual (IMS) paling tinggi adalah hubungan kelamin lewat dubur dan pelaku LGBT mempunyai resiko tertingggi untuk tertular IMS dan HIV/AIDS, bahkan data dari Kementerian Kesehatan Amerika menyebutkan 55% penderita AIDS di Amerika adalah LGBT (Hidayatullah.com).
Bukan hanya penyakit saja yang bisa ditularkan, tetapi juga mengakibatkan rusaknya kehidupan para pelaku LGBT. Yang lebih berbahaya ketika gerakan LGBT ini menjadi gerakan politik dengan adanya intervensi asing dan menyebabakan turunnya jumlah populasi di suatu negara. Ada pula yang berdalih bahwa LGBT adalah faktor genetik, sifat bawaan yang menetukan orang tersebut gay, lesbi dan sebagainya. Perilaku ini sudah menjadi gaya hidup (lifestyle) liberal yang bernaung dalam demokrasi dan hak asasi manusia. Adanya jaminan kebebasan berekspresi akan membolehkan setiap orang melakukan apa saja, selama tidak dengan paksaan. Dengan adanya perlindungan dan diakuinya LGBT di Indonesia tinggal menunggu waktu pernikahan sesama jenis akan dilegalkan. Jadi, masihkah kita berdiam diri melihat kerusakan yang nyata di tengah-tengah umat? ***
Komentar
Posting Komentar