Oleh : Desi Novianti S.Pd ( Guru Bimbingan)
Pemilu 2019 tinggal menunggu hari, banyak polemik mengelikan yang di perankan oleh dagelan-dagelan demokrasi guna menyambut tamu pemilu Capres-Wapres. Dari kotak kardus, test baca Alquran, bank soal untuk Paslon hingga pembatalan oleh KPU untuk memfasilitasi penyampaian Visi Misi Capres dengan mengarahkan sosialisasi visi dan misi hanya bisa dilakukan oleh masing-masing paslon ditempat dan waktu yang mereka tentukan sendiri. Hal inipun menjadi pertanyaan besar, dalam memilih tingkat kades saja mesti komplit visi dan misi ini lingkup pemimpin negara haruslah gamplang menyampaikan visi dan misinya. Masyarakat tidak akan mengetahui visi apa yang diemban sang penguasa untuk lima tahun kedepan. Bagimana sang penguasa mengambil kebijakan mengatasi kenaikan barang, penurunan nilai mata uang, kemiskinan, pendidikan yang amburadul, pembunuhan yang makin marak, pengangguran serta masalah lainnya yang berkubangan di negeri ini. Sehingga tak logislah apa yang di lontarkan oleh KPU membatasi visi dan misi paslon, karena ini bukan sebatas memilih asal-asalan, namun memilih pemimpin yang bisa mengeser bangsa ini dari jurang ke sengsaraan.
Dengan debat versus visi dan misi sang pemilih alias rakyat dapat leluasa memilih mana sang pemimpin yang penuh pencitraan, mana pemimpin yang menyampaikan ide-ide dan pemikiran yang handal. Dengan visi dan Misi rakyat dapat mengoreksi penguasa akan kekeliruannya dalam memimpin negeri ini. Pemimpin adalah pelayan, rakyat sebagai obyek yang di layanin mesti mengoreksi jika ada yang salah dalam kepimpinannya. Namun budaya mengiingatkan tidak akan terjadi dalam demokrasi mengoreksi bukan sifat demokrasi, karena asas kebebasan dalam berpikir menjadikan akal dalam membuat Undang-undang sehingga hawa nafsu menjadi tolak ukur dalam mengurusin rakyatnya. Ketika akal di jadikan asas seseorang bebas dalam menentukan sikapnya jika tidak sesuai kepentingannya pasti menolak wajarlah jika terjadilah enggan untuk dikoreksi jika bersinggungan tidak sesuai dengan kepentingan.
Lain demokrasi lain halnya dengan Islam sebagai ideologi yang diturunkan dari Sang khalik punya cara yang beda dalammemilih pemimpin untuk suatu negara Pemimpin yang ideal dalam pandangan Islam ada dua, pertama, syartul shihah (syarat legalitas) dan kedua, syartul kamal (syarat kesempurnaan). Syartul shihah ini wajib dipenuhi untuk adanya sebuah pemerintahan yang sah jika keadaan sebuah Negara dalam kedaan normal.
Syartul shihah adalah sifat-sifat kepimimpinan yang utama dalam Islam yaitu mampu menjaga agama dan kekayaan Negara, sehat fisik dan mental, sedangkan Syartul kamal adalah jujur, amanah, bertanggung jawab, berilmu dan berwawasan, tidak melakukan tindakan yang amoral dan tegas. Namun Islam tidak mutlak berpaku kepada dua syarat di atas untuk menjadi seorang pemimpin yang ideal juga mempunyai visi misi yang jelas dan terukur untuk menjaga agama dan mensejahterakan rakyat. Seorang pemimpin didalam islam harus mempunyai sifat yang menyeru kepada kema’rufan dan mencegah perbuatan yang munkar.
Dalam islam tidak ada kampanye berbulan-bulan, sehingga untuk kampanye yang lama penguasa tentu mengeluarkan modal banyak. Dalam demokrasi karena mahalnya biaya untuk pesta pemilu tak jarang sang penguasa sibuk mencari modal untuk naik sebagai pemimpin, sehingga tak heran jika penguasa bisa selingkuh dengan pengusaha, atau mencari modal lainnya. Maka tak ayal penguasa bukannya melirik rakyat malah melirik kepada sang pemberi utang alias pengusaha. Dalam islam masyarakat dapat menilai keseharian sikap, calon seorang khalifah tersebut. Sehingga tidak akan ada yang namanya pencitraan belaka seperti di sistem demokrasi saat ini, cari muka atau mendadak baik di saat pemilu atau kebohongan dengan janji-janjinya. Karena adanya tolak ukurnya adalah aqidah islam yang menancapkan keimanan. Maka bersegeralah mengembalikan sistem Islam di negeri ini. Agar Allah memberikan keberkahanNya di bumi ini. Segera terapkan sistem Islam dan buanglah sistem yang rusak, yakni sistem demokrasi, ganti dengan sistem Islam. Karena siapapun pemimpin dari sistem demokrasi akan mengalami kemerosotan hal yang sama. Wallahu A’lam
Pemilu 2019 tinggal menunggu hari, banyak polemik mengelikan yang di perankan oleh dagelan-dagelan demokrasi guna menyambut tamu pemilu Capres-Wapres. Dari kotak kardus, test baca Alquran, bank soal untuk Paslon hingga pembatalan oleh KPU untuk memfasilitasi penyampaian Visi Misi Capres dengan mengarahkan sosialisasi visi dan misi hanya bisa dilakukan oleh masing-masing paslon ditempat dan waktu yang mereka tentukan sendiri. Hal inipun menjadi pertanyaan besar, dalam memilih tingkat kades saja mesti komplit visi dan misi ini lingkup pemimpin negara haruslah gamplang menyampaikan visi dan misinya. Masyarakat tidak akan mengetahui visi apa yang diemban sang penguasa untuk lima tahun kedepan. Bagimana sang penguasa mengambil kebijakan mengatasi kenaikan barang, penurunan nilai mata uang, kemiskinan, pendidikan yang amburadul, pembunuhan yang makin marak, pengangguran serta masalah lainnya yang berkubangan di negeri ini. Sehingga tak logislah apa yang di lontarkan oleh KPU membatasi visi dan misi paslon, karena ini bukan sebatas memilih asal-asalan, namun memilih pemimpin yang bisa mengeser bangsa ini dari jurang ke sengsaraan.
Dengan debat versus visi dan misi sang pemilih alias rakyat dapat leluasa memilih mana sang pemimpin yang penuh pencitraan, mana pemimpin yang menyampaikan ide-ide dan pemikiran yang handal. Dengan visi dan Misi rakyat dapat mengoreksi penguasa akan kekeliruannya dalam memimpin negeri ini. Pemimpin adalah pelayan, rakyat sebagai obyek yang di layanin mesti mengoreksi jika ada yang salah dalam kepimpinannya. Namun budaya mengiingatkan tidak akan terjadi dalam demokrasi mengoreksi bukan sifat demokrasi, karena asas kebebasan dalam berpikir menjadikan akal dalam membuat Undang-undang sehingga hawa nafsu menjadi tolak ukur dalam mengurusin rakyatnya. Ketika akal di jadikan asas seseorang bebas dalam menentukan sikapnya jika tidak sesuai kepentingannya pasti menolak wajarlah jika terjadilah enggan untuk dikoreksi jika bersinggungan tidak sesuai dengan kepentingan.
Lain demokrasi lain halnya dengan Islam sebagai ideologi yang diturunkan dari Sang khalik punya cara yang beda dalammemilih pemimpin untuk suatu negara Pemimpin yang ideal dalam pandangan Islam ada dua, pertama, syartul shihah (syarat legalitas) dan kedua, syartul kamal (syarat kesempurnaan). Syartul shihah ini wajib dipenuhi untuk adanya sebuah pemerintahan yang sah jika keadaan sebuah Negara dalam kedaan normal.
Syartul shihah adalah sifat-sifat kepimimpinan yang utama dalam Islam yaitu mampu menjaga agama dan kekayaan Negara, sehat fisik dan mental, sedangkan Syartul kamal adalah jujur, amanah, bertanggung jawab, berilmu dan berwawasan, tidak melakukan tindakan yang amoral dan tegas. Namun Islam tidak mutlak berpaku kepada dua syarat di atas untuk menjadi seorang pemimpin yang ideal juga mempunyai visi misi yang jelas dan terukur untuk menjaga agama dan mensejahterakan rakyat. Seorang pemimpin didalam islam harus mempunyai sifat yang menyeru kepada kema’rufan dan mencegah perbuatan yang munkar.
Dalam islam tidak ada kampanye berbulan-bulan, sehingga untuk kampanye yang lama penguasa tentu mengeluarkan modal banyak. Dalam demokrasi karena mahalnya biaya untuk pesta pemilu tak jarang sang penguasa sibuk mencari modal untuk naik sebagai pemimpin, sehingga tak heran jika penguasa bisa selingkuh dengan pengusaha, atau mencari modal lainnya. Maka tak ayal penguasa bukannya melirik rakyat malah melirik kepada sang pemberi utang alias pengusaha. Dalam islam masyarakat dapat menilai keseharian sikap, calon seorang khalifah tersebut. Sehingga tidak akan ada yang namanya pencitraan belaka seperti di sistem demokrasi saat ini, cari muka atau mendadak baik di saat pemilu atau kebohongan dengan janji-janjinya. Karena adanya tolak ukurnya adalah aqidah islam yang menancapkan keimanan. Maka bersegeralah mengembalikan sistem Islam di negeri ini. Agar Allah memberikan keberkahanNya di bumi ini. Segera terapkan sistem Islam dan buanglah sistem yang rusak, yakni sistem demokrasi, ganti dengan sistem Islam. Karena siapapun pemimpin dari sistem demokrasi akan mengalami kemerosotan hal yang sama. Wallahu A’lam
Komentar
Posting Komentar