Penulis: Desi Noviyanti (Guru Bimbingan dan konseling)
Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), belum berencana mengusulkan formasi
perekrutan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau P3K untuk tenaga pendidik dan tenaga
kesehatan sebagai pengganti pegawai honorer kepada pemerintah pusat.Hal ini disebabkan Badan
Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan atau BKPP Kabupaten Penajam Paser Utara belum
mengusulkan formasi perekrutan P3K untuk tahap dua. Pendaftaran perekrutan pegawai pemerintah
dangan perjanjian kerja tahap dua rencanannya dibuka April setelah pelaksanaan Pemilihan Umum
atau Pemilu 2019. Pemkab PPU mewacanakan menyusun formulasi untuk P3K hal ini dilatar
belakangin dengan terbitnya peraturan pemrintah (PP) No. 49 tahun 2018 tentang manajemen P3K
pada 22 November lalu, dan dalam pasal 4 dijelaskan setiap instansi pemerintahan wajib menyusun
kebutuhan jumlah dan jenis jabatan P3K berdasarkan analisis beban kerja. Namun alih-alih menjadi
solusi, hal ini berefek kepada keberadaan tenaga harian lepas (THL) atau honorer. Berdasarkan data
badan kepengawaian, pendidikan dan pelatihan (BKPP) PPU jumlah tenaga honorer di PPU
sbanyak 2.498 orang . Sementara hasil analisis jabatan dan beban kerja, kebutuhan P3K yang akan
direkrut hanya 670-700 orang. Bisa jadi ada 2.498 THL bakal tersingkir. Itupun jika dalam
perekrutan P3K ini, THL mendapat skala prioritas. Tentu hal ini menjadi taring yang menakutkan
bagi instansi pemkab PPU. Pengangkatan P3K ini efek dari janji presiden joko widodo saat
kampanye guna mensejahterahkan nasib kaum guru honorer. Namun kebijakan ini kunjung tak
terealisasi akhirnya september 2018 lalu para masaa yang tergabung dalam forum honorer kategori
K2 mengelar unjuk rasa di depan balai kota DKI jakarta. Masssa yang mengusung
tagar#2019HonorerK2JadiPNS menuntut agar pemerintah mengangkat mereka menjadi PNS.
Selain prihal unjuk rasa awal April lalu seluruh walikota di indonesia mengadakan unjuk rasa
seperti di lansir: “ Walikota di seluruh Indonesia sepakat menyatakan keberatan kepada Pemerintah
Pusat terkait pemberian Gaji Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) yang dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di tiap Pemerintah Kota”. (Https://www.cnnindonesia.com/nasional). Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Asosiasi
Pemerintah Kota se-Indonesia (Apeksi) Airin Rachmi usai membuka Rapat Kerja Komisariat
Wilayah III di Semarang, beberapa waktu lalu. Menurutnya yang juga sebagai Wali Kota Tangerang
Selatan itu, tidak semua daerah memiliki kemampuan membuat pos anggaran baru untuk gaji P3K
yang baru seleksi beberapa waktu lalu. Pemda justru berharap gaji untuk P3K diberikan oleh
Pemerintah Pusat seperti Aparatur Sipil Negara (ASN). Lemahnya manajemen pendidikan dalam
merekrut tenaga pendidik bukan kali ini saja. Sebagaimana di ketahui wacana zonasi guru juga kian
bergulir. Sistem zonasi atau wilayah ini efek dari ketimpangan jumlah guru di beberapa daerah.
Diharapkan dengan zonasi ini maka jumlah guru ASN dan honorer harus merata. Selain itu, juga
harus ada rotasi atau dengan kata lain zonasi untuk meruntuhkan kasta-kasta dalam dunia pendidikan
yang selama ini terbangun. Dengan kata lain puluhan tahun terbangun kasta dalam dunia
pendidikan, dan memberi dampak negatif serta mendegradasi integritas siswa, guru, dan orang tua.
Sehingga mindset SMKN 2 Penajam sebagai sekolah unggulan akan tersingkir dengan adanya sistem
zonasi ini. Dan zonasi guru ini akan dibagi empat kategori yakni guru ASN yang sudah bersertifikasi
dan yang belum; Guru honorer yang berserfitikasi dan yang belum, Guru bersertifikasi yang dinilai
memiliki kompetensi baik, akan didistribusikan ke sekolah yang kekurangan guru bersertifikasi
dalam satu zona. Supriano menjamin mutasi guru itu tak lebih dari 10-15 km dari sekolah asal.
Dengan catatan notabene berada dalam satu kabupaten/kota. Kedepannya pula akan terjadi
pertukaran guru sesuai kebutuhan. Guru yang terbiasa mengajar di sekolah unggulan dapat mengajar
di sekolah non favorit. Begitupun sebaliknya. Untuk itu Kemendikbud pun akan menggenjot
peningkatan kualitas pembelajaran dengan mengadakan pelatihan untuk para guru. Dengan sistem
zonasi yakni memperhatikan masalah dan kebutuhan masing-masing wilayah. Ke depannya sekolah
negeri akan setara dalam kualitas. Sistem zonasi ini mulai di sosialisasikan pada Januari hingga Mei
2019. Akan tetapi wacana zonasi ini bisa berefek tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di
lapangan sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi menilai bahwa jumlah guru di daerah tidaklah memadai
untuk implementasi sistem ini. Jika jumlah guru kurang, dia mempertanyakan guru mana yang akan
dibagi ke sekolah. "Ini tidak semudah apa yang ada dalam pikiran karena guru yang ada sekarang itu kurang, apa yang mau diredistribusi? Konsep itu kalau di lapangan susah dilakukan”
(Https://www.cnnindonesia.com/nasional). Inilah potret sekelumit wajah pendidikan, sebenarnya apa
sebab lahirnya permasalahan ini?
Lahirnya permasalahan dari status guru dan zonasi wilayah mengajar adalah cerminan
bagaimana kacauanya dunia pendidikan. Sebenarnya tak ada beda guru berstatus ASN dengan guru
honorer adalah sama-sama tenaga pendidik. Guru yang bersertifikasi dan non sertifikasi tugasnya
pun sama yaitu membimbing. Maka harusnya perlakuan terhadap mereka juga sama. Di zaman
sekarang, guru harus berjuang menghadapi berbagai problematika pendidikan yang ada. Mereka
harus menghadapi peserta didik yang mengalami krisis moral akut, problem kurikulum yang selalu
berganti-ganti, bulyimg, kriminal, penganiayaan guru, bahkan sampai pembunuhan guru dan
masalah ekonomi yang makin hari menghimpit. Hal inipun dilihat dari rendahnya penghargaan
terhadap guru. Penelitian yang dilakukan oleh Organisation for economic co – operation and development menyatakan 67% guru merasa tidak dihargai dengan layak, 74% mengatakan bahwa
mereka tidak dibayar dengan layak dibandingkan dengan profesi yang lain. Menurut jaringan guru
Guardian dan survei pekerjaan di Guardian terkait kehidupan guru, 82% guru menyatakan bahwa
beban pekerjaan mereka sudah diluar batas kemampuan, 73% menyatakan bahwa pekerjaan mereka
mempengaruhi kesehatan mental mereka. Sepertiga guru dilaporkan bekerja lebih dari 60 jam /
minggu, 1 dari 5 orang meninggalkan pekerjaannya karena beben kerjanya tersebut (Ensiklopedia
Khilafah dan Pendidikan).
Mengapa hal ini terjadi? Ini disebabkan negeri ini masih menganut pemerintahan demokrasi,
sektor pendidikan pun tak lepas dari bagaimana kapitalisme asas demokrasi memandang pendidikan
dalam pengelolaannya. Inti dari pengelolaannya adalah minimnya campur tangan pemerintah dan
membiarkan mekanisme pasar (korporasi) bekerja. Perunutan kapitalisasi pendidikan dimulai dari
keputusan Indonesia tunduk kepada WTO melalui perumusan General Aggrement Tariffs dan Trade
(GATT). Hal ini menyebabkan jebolnya dinding-dinding proteksi negara dalam perdagangan.
Dilanjut dengan dirumuskannya The Washington Consensus (1989-1990) yang salah satu butirnya
tentang public expenditure. Public expenditure adalah pengarahan kembali pengeluaran masyarakat
untuk bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, sehingga beban tanggung jawab pemerintah
berkurang. Di era Soeharto, Indonesia sudah menerapkan hal tersebut tertuang dalam UU no. 74
tahun 1994. Dalam era yang sama Indonesia mempersilahkan World Bank merambah dunia
pendidikan. Terwujud dalam proyek-proyek berkedok program derma (sosial), University Research
For Graduate Education (URGE), Development of Undegraduate Education, Quality of
Undergraduate Education (QUE). Kemudian proyek berlanjut dibiayai oleh UNESCO yakni Higher
Educations for Competitiveness Project (HECP) yang kemudian berevolusi menjadi Indonesia
Managing Higher Education for Relevance And Efficiency (IMHERE). Dalam system kapitalis,
fungsi pendidikan adalah untuk mencetak sebanyak mungkin professional dan tenaga ahli. Ini
terlihat dari survey yang dilakukan McKinsey & Co. tahun 2016 yang melibatkan 77 perusahaan
dengan 6000-an responden. Hasil survey menyatakan bahwa di dunia elit korporasi kapitalis terjadi
pertarungan sengit dalam memperebutkan talent – talent jenius yang jumlahnya terbatas. Ini justru
merendahkan arti pendidikan, yang hanya digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan
persaingan bisnis dan penguasaan teknologi untuk kepentingan segelintir pemilik modal bukan
rakyat apalagi negara. Adanya proyek-proyek liberasisasi pendidikan memberi dampak di sektor
pendidikan : 1) pendidikan hanya dipandang sebagai proses menghasilkan manusia siap pakai di
industri, 2)peserta didik adalah konsumen, 3)guru adalah pekerja, 4)pengelola lembaga adalah
manager, 5) lembaga pendidikan adalah investor dan, 7) kurikulum adalah pesanan pemilik modal.
Kapitalisasi pendidikan mendorong negara berorientasi pada berlipatgandanya keuntungan yang
diperoleh dari pengelolaan sektor ini. Mekanisme yang dijalankan, memberi upah yang sangat
rendah pada pekerja (guru). Menghargai ‘jasa guru’ dengan nominal yang bahkan tidak cukup untuk
hidup. Semua ini disebabkan karena syistem pendidikan yang ada berlandaskan pada sistem kapitalis
sekuler. Pendidikan ala kapitalisme menghasilkan paradigma berfikir sekuler materialistik. Agama
tidak menjadi acuan dalam kehidupan, namun segalanya diukur dengan materi, yang berarti sistem
pendidikan di bawah sistem kapitalisme selalunya berhitung untung rugi.Sesungguhnya semua berawal dari paradigma ini, ketika memandang berbagai persoalan termasuk soal guru adalah soal
keuntungan, maka wajar pendidikan ala kapitalisme gagal mencetak generasi manusia dengan
kepribadian utuh dan berkarakter karena yang terbentuk adalah manusia intelek tapi kosong ruhiyah
(agama). Bahkan tak sedikit yang bermoral bejat. Pemerintahpun seakan abai dan tak peduli serta
tidak mampu menentukan harga yang tepat terhadap profesi mulia, seperti guru, terlebih guru
honorer. Dalam pusaran sistem kapitalis yang sarat dengan perhitungan untung dan rugi, dunia
pendidikan seakan hanya dijadikan sebagai komponen ekonomi.
Akibatnya, guru hanya sekedar sebagai pekerja dan menjadi tumbal demi melipat gandakan
keuntungan negara. Nominal Penghargaan terhadap ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ itupun sangat
minim yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dengan demikian wajar, jika persoalan pelik seputar guru, khususnya yang diberi status honorer dan
masalah pendidikan lainnya ini tidak akan pernah selesai, jika paradigma mendasar tak diubah, yakni
dengan orientasi pendidikan kapitalis yang mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan pada
materi (nilai) dengan cara apapun, tanpa memandang baik dan buruknya.
Inilah kenyataan bahwa kita hidup dalam sistem rusak yang menimbulkan banyak korban termasuk
para guru yang mengalami kemiskinan secara sistematis, belum lagi life style konsumtif juga ikut
menjebaknya. Sehingga kadang harus mencari uang di tempat lain guna menutupi kebutuhan
keluarga, baik yang pokok maupun tersier, hingga seringkali sampai menggadaikan idealisme
mereka sebagai seoran guru.
Pandangan Islam tentang pendidikan dan para pendidik.
Pendidikan merupakan hajah asasiyah (kebutuhan dasar) yang harus dijamin ketersediaannya di
tengah – tengah masyarakat oleh negara. Sabda Nabi SAW:
“Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinanannya
(HR. al Bukhari).
Negara wajib menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat. Imam ibnu Hazm,
dalam kitabnya, Al Ihkam, menjelaskan bahwa kepala negara (Khalifah) berkewajiban untuk
memenuhi sarana pendidikan, sistemnya dan orang – orang yang digaji untuk mendidik masyarakat.
DI masa Khalifah Umar bin Khattab, para pengajar al-Qur’an diberikan gaji oleh khalifah sebesar 15
dinar (1 dinar setara dengan 4,25 gram emas. Jika 1 gram emas Rp. 500.000, 1 dinar berarti setara
dengan Rp. 2.125.000. Artinya gaji seorang guru yang mengajarkan al-Qur’an adalah 15 dinar x
2.125.000 = Rp. 31.875.000.
Selain itu, Menjadi seorang guru adalah salah satu tugas yang sangat dihormati dalam Islam.
Mereka yang membawa tugas berat ini telah dijanjikan pahala besar. Sebuah hadist dari Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahili, menyatakan
“Allah dan para MalaikatNya dan penduduk langit dan bumi, bahkan semut di bebatuan dan ikan,
berdoa uantuk berkah pada diri mereka yang mengajar orang – orang dengan baik” (H.R.
Tirmidzi).
Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan. Tujuan – tujuan pendidikan yang telah digariskan syariat islam adalah:
Membentuk manusia bertaqwa yang memiliki kepribadian islam (syakhshiyyah islamiyyah) secara
utuh, yakni pola pokir dan pola sikapnya didasarkan pada akidah islam.
Menciptakan ulama, intelektual dan tenaga ahli dalam jumlah berlimpah di setiap bidang kehidupan
yang merupakan sumber manfaat bagi umat, melayani masyarakat dan peradaban – serta akan
membuat negara Islam menjadi negara terdepan, kuat dan berdaulat sehingga menjadikan Islam
sebagai ideology yang mendominasi di dunia.
Disamping itu, guru dalam pandangan Islam harus memastikan dirinya menjadi kualitas sumber
daya manusia berdasarkan ideology islam. Sehingga guru yang berkualitas ini akan menghasilkan
generasi yang tidak hanya unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga memiliki
kepribadian yang luar biasa. Ditambah dengan tujuan pendidikan seperti ini output yang akan
dihasilkan dari pendidikan Islam adalah generasi yang bertaqwa, tunduk dan taat pada hukum –
hukum Allah bukan generasi yang miskin moralitas, lemah dan tidak memiliki ghirah agama.
Tujuan hakiki inilah yang akan mengantarkan masyarakat, pembangunan yang produktif dan
luhurnya peradaban. Dengan tujuan pendidikan yang benar, maka ilmu pengetahuan akan
mendatangkan keberkahan, seperti berkahnya air hujan yang menyirami tanah yang subur, dimana
kemudian manfaatnya terus mengalir menjadi manfaat yang banyak bagi kehidupan bahkan dalam
dimensi hidup bermasyarakat dan bernegara.
(Wallahu A'lam Bishawab).
Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), belum berencana mengusulkan formasi
perekrutan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau P3K untuk tenaga pendidik dan tenaga
kesehatan sebagai pengganti pegawai honorer kepada pemerintah pusat.Hal ini disebabkan Badan
Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan atau BKPP Kabupaten Penajam Paser Utara belum
mengusulkan formasi perekrutan P3K untuk tahap dua. Pendaftaran perekrutan pegawai pemerintah
dangan perjanjian kerja tahap dua rencanannya dibuka April setelah pelaksanaan Pemilihan Umum
atau Pemilu 2019. Pemkab PPU mewacanakan menyusun formulasi untuk P3K hal ini dilatar
belakangin dengan terbitnya peraturan pemrintah (PP) No. 49 tahun 2018 tentang manajemen P3K
pada 22 November lalu, dan dalam pasal 4 dijelaskan setiap instansi pemerintahan wajib menyusun
kebutuhan jumlah dan jenis jabatan P3K berdasarkan analisis beban kerja. Namun alih-alih menjadi
solusi, hal ini berefek kepada keberadaan tenaga harian lepas (THL) atau honorer. Berdasarkan data
badan kepengawaian, pendidikan dan pelatihan (BKPP) PPU jumlah tenaga honorer di PPU
sbanyak 2.498 orang . Sementara hasil analisis jabatan dan beban kerja, kebutuhan P3K yang akan
direkrut hanya 670-700 orang. Bisa jadi ada 2.498 THL bakal tersingkir. Itupun jika dalam
perekrutan P3K ini, THL mendapat skala prioritas. Tentu hal ini menjadi taring yang menakutkan
bagi instansi pemkab PPU. Pengangkatan P3K ini efek dari janji presiden joko widodo saat
kampanye guna mensejahterahkan nasib kaum guru honorer. Namun kebijakan ini kunjung tak
terealisasi akhirnya september 2018 lalu para masaa yang tergabung dalam forum honorer kategori
K2 mengelar unjuk rasa di depan balai kota DKI jakarta. Masssa yang mengusung
tagar#2019HonorerK2JadiPNS menuntut agar pemerintah mengangkat mereka menjadi PNS.
Selain prihal unjuk rasa awal April lalu seluruh walikota di indonesia mengadakan unjuk rasa
seperti di lansir: “ Walikota di seluruh Indonesia sepakat menyatakan keberatan kepada Pemerintah
Pusat terkait pemberian Gaji Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) yang dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di tiap Pemerintah Kota”. (Https://www.cnnindonesia.com/nasional). Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Asosiasi
Pemerintah Kota se-Indonesia (Apeksi) Airin Rachmi usai membuka Rapat Kerja Komisariat
Wilayah III di Semarang, beberapa waktu lalu. Menurutnya yang juga sebagai Wali Kota Tangerang
Selatan itu, tidak semua daerah memiliki kemampuan membuat pos anggaran baru untuk gaji P3K
yang baru seleksi beberapa waktu lalu. Pemda justru berharap gaji untuk P3K diberikan oleh
Pemerintah Pusat seperti Aparatur Sipil Negara (ASN). Lemahnya manajemen pendidikan dalam
merekrut tenaga pendidik bukan kali ini saja. Sebagaimana di ketahui wacana zonasi guru juga kian
bergulir. Sistem zonasi atau wilayah ini efek dari ketimpangan jumlah guru di beberapa daerah.
Diharapkan dengan zonasi ini maka jumlah guru ASN dan honorer harus merata. Selain itu, juga
harus ada rotasi atau dengan kata lain zonasi untuk meruntuhkan kasta-kasta dalam dunia pendidikan
yang selama ini terbangun. Dengan kata lain puluhan tahun terbangun kasta dalam dunia
pendidikan, dan memberi dampak negatif serta mendegradasi integritas siswa, guru, dan orang tua.
Sehingga mindset SMKN 2 Penajam sebagai sekolah unggulan akan tersingkir dengan adanya sistem
zonasi ini. Dan zonasi guru ini akan dibagi empat kategori yakni guru ASN yang sudah bersertifikasi
dan yang belum; Guru honorer yang berserfitikasi dan yang belum, Guru bersertifikasi yang dinilai
memiliki kompetensi baik, akan didistribusikan ke sekolah yang kekurangan guru bersertifikasi
dalam satu zona. Supriano menjamin mutasi guru itu tak lebih dari 10-15 km dari sekolah asal.
Dengan catatan notabene berada dalam satu kabupaten/kota. Kedepannya pula akan terjadi
pertukaran guru sesuai kebutuhan. Guru yang terbiasa mengajar di sekolah unggulan dapat mengajar
di sekolah non favorit. Begitupun sebaliknya. Untuk itu Kemendikbud pun akan menggenjot
peningkatan kualitas pembelajaran dengan mengadakan pelatihan untuk para guru. Dengan sistem
zonasi yakni memperhatikan masalah dan kebutuhan masing-masing wilayah. Ke depannya sekolah
negeri akan setara dalam kualitas. Sistem zonasi ini mulai di sosialisasikan pada Januari hingga Mei
2019. Akan tetapi wacana zonasi ini bisa berefek tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di
lapangan sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi menilai bahwa jumlah guru di daerah tidaklah memadai
untuk implementasi sistem ini. Jika jumlah guru kurang, dia mempertanyakan guru mana yang akan
dibagi ke sekolah. "Ini tidak semudah apa yang ada dalam pikiran karena guru yang ada sekarang itu kurang, apa yang mau diredistribusi? Konsep itu kalau di lapangan susah dilakukan”
(Https://www.cnnindonesia.com/nasional). Inilah potret sekelumit wajah pendidikan, sebenarnya apa
sebab lahirnya permasalahan ini?
Lahirnya permasalahan dari status guru dan zonasi wilayah mengajar adalah cerminan
bagaimana kacauanya dunia pendidikan. Sebenarnya tak ada beda guru berstatus ASN dengan guru
honorer adalah sama-sama tenaga pendidik. Guru yang bersertifikasi dan non sertifikasi tugasnya
pun sama yaitu membimbing. Maka harusnya perlakuan terhadap mereka juga sama. Di zaman
sekarang, guru harus berjuang menghadapi berbagai problematika pendidikan yang ada. Mereka
harus menghadapi peserta didik yang mengalami krisis moral akut, problem kurikulum yang selalu
berganti-ganti, bulyimg, kriminal, penganiayaan guru, bahkan sampai pembunuhan guru dan
masalah ekonomi yang makin hari menghimpit. Hal inipun dilihat dari rendahnya penghargaan
terhadap guru. Penelitian yang dilakukan oleh Organisation for economic co – operation and development menyatakan 67% guru merasa tidak dihargai dengan layak, 74% mengatakan bahwa
mereka tidak dibayar dengan layak dibandingkan dengan profesi yang lain. Menurut jaringan guru
Guardian dan survei pekerjaan di Guardian terkait kehidupan guru, 82% guru menyatakan bahwa
beban pekerjaan mereka sudah diluar batas kemampuan, 73% menyatakan bahwa pekerjaan mereka
mempengaruhi kesehatan mental mereka. Sepertiga guru dilaporkan bekerja lebih dari 60 jam /
minggu, 1 dari 5 orang meninggalkan pekerjaannya karena beben kerjanya tersebut (Ensiklopedia
Khilafah dan Pendidikan).
Mengapa hal ini terjadi? Ini disebabkan negeri ini masih menganut pemerintahan demokrasi,
sektor pendidikan pun tak lepas dari bagaimana kapitalisme asas demokrasi memandang pendidikan
dalam pengelolaannya. Inti dari pengelolaannya adalah minimnya campur tangan pemerintah dan
membiarkan mekanisme pasar (korporasi) bekerja. Perunutan kapitalisasi pendidikan dimulai dari
keputusan Indonesia tunduk kepada WTO melalui perumusan General Aggrement Tariffs dan Trade
(GATT). Hal ini menyebabkan jebolnya dinding-dinding proteksi negara dalam perdagangan.
Dilanjut dengan dirumuskannya The Washington Consensus (1989-1990) yang salah satu butirnya
tentang public expenditure. Public expenditure adalah pengarahan kembali pengeluaran masyarakat
untuk bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, sehingga beban tanggung jawab pemerintah
berkurang. Di era Soeharto, Indonesia sudah menerapkan hal tersebut tertuang dalam UU no. 74
tahun 1994. Dalam era yang sama Indonesia mempersilahkan World Bank merambah dunia
pendidikan. Terwujud dalam proyek-proyek berkedok program derma (sosial), University Research
For Graduate Education (URGE), Development of Undegraduate Education, Quality of
Undergraduate Education (QUE). Kemudian proyek berlanjut dibiayai oleh UNESCO yakni Higher
Educations for Competitiveness Project (HECP) yang kemudian berevolusi menjadi Indonesia
Managing Higher Education for Relevance And Efficiency (IMHERE). Dalam system kapitalis,
fungsi pendidikan adalah untuk mencetak sebanyak mungkin professional dan tenaga ahli. Ini
terlihat dari survey yang dilakukan McKinsey & Co. tahun 2016 yang melibatkan 77 perusahaan
dengan 6000-an responden. Hasil survey menyatakan bahwa di dunia elit korporasi kapitalis terjadi
pertarungan sengit dalam memperebutkan talent – talent jenius yang jumlahnya terbatas. Ini justru
merendahkan arti pendidikan, yang hanya digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan
persaingan bisnis dan penguasaan teknologi untuk kepentingan segelintir pemilik modal bukan
rakyat apalagi negara. Adanya proyek-proyek liberasisasi pendidikan memberi dampak di sektor
pendidikan : 1) pendidikan hanya dipandang sebagai proses menghasilkan manusia siap pakai di
industri, 2)peserta didik adalah konsumen, 3)guru adalah pekerja, 4)pengelola lembaga adalah
manager, 5) lembaga pendidikan adalah investor dan, 7) kurikulum adalah pesanan pemilik modal.
Kapitalisasi pendidikan mendorong negara berorientasi pada berlipatgandanya keuntungan yang
diperoleh dari pengelolaan sektor ini. Mekanisme yang dijalankan, memberi upah yang sangat
rendah pada pekerja (guru). Menghargai ‘jasa guru’ dengan nominal yang bahkan tidak cukup untuk
hidup. Semua ini disebabkan karena syistem pendidikan yang ada berlandaskan pada sistem kapitalis
sekuler. Pendidikan ala kapitalisme menghasilkan paradigma berfikir sekuler materialistik. Agama
tidak menjadi acuan dalam kehidupan, namun segalanya diukur dengan materi, yang berarti sistem
pendidikan di bawah sistem kapitalisme selalunya berhitung untung rugi.Sesungguhnya semua berawal dari paradigma ini, ketika memandang berbagai persoalan termasuk soal guru adalah soal
keuntungan, maka wajar pendidikan ala kapitalisme gagal mencetak generasi manusia dengan
kepribadian utuh dan berkarakter karena yang terbentuk adalah manusia intelek tapi kosong ruhiyah
(agama). Bahkan tak sedikit yang bermoral bejat. Pemerintahpun seakan abai dan tak peduli serta
tidak mampu menentukan harga yang tepat terhadap profesi mulia, seperti guru, terlebih guru
honorer. Dalam pusaran sistem kapitalis yang sarat dengan perhitungan untung dan rugi, dunia
pendidikan seakan hanya dijadikan sebagai komponen ekonomi.
Akibatnya, guru hanya sekedar sebagai pekerja dan menjadi tumbal demi melipat gandakan
keuntungan negara. Nominal Penghargaan terhadap ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ itupun sangat
minim yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dengan demikian wajar, jika persoalan pelik seputar guru, khususnya yang diberi status honorer dan
masalah pendidikan lainnya ini tidak akan pernah selesai, jika paradigma mendasar tak diubah, yakni
dengan orientasi pendidikan kapitalis yang mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan pada
materi (nilai) dengan cara apapun, tanpa memandang baik dan buruknya.
Inilah kenyataan bahwa kita hidup dalam sistem rusak yang menimbulkan banyak korban termasuk
para guru yang mengalami kemiskinan secara sistematis, belum lagi life style konsumtif juga ikut
menjebaknya. Sehingga kadang harus mencari uang di tempat lain guna menutupi kebutuhan
keluarga, baik yang pokok maupun tersier, hingga seringkali sampai menggadaikan idealisme
mereka sebagai seoran guru.
Pandangan Islam tentang pendidikan dan para pendidik.
Pendidikan merupakan hajah asasiyah (kebutuhan dasar) yang harus dijamin ketersediaannya di
tengah – tengah masyarakat oleh negara. Sabda Nabi SAW:
“Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinanannya
(HR. al Bukhari).
Negara wajib menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat. Imam ibnu Hazm,
dalam kitabnya, Al Ihkam, menjelaskan bahwa kepala negara (Khalifah) berkewajiban untuk
memenuhi sarana pendidikan, sistemnya dan orang – orang yang digaji untuk mendidik masyarakat.
DI masa Khalifah Umar bin Khattab, para pengajar al-Qur’an diberikan gaji oleh khalifah sebesar 15
dinar (1 dinar setara dengan 4,25 gram emas. Jika 1 gram emas Rp. 500.000, 1 dinar berarti setara
dengan Rp. 2.125.000. Artinya gaji seorang guru yang mengajarkan al-Qur’an adalah 15 dinar x
2.125.000 = Rp. 31.875.000.
Selain itu, Menjadi seorang guru adalah salah satu tugas yang sangat dihormati dalam Islam.
Mereka yang membawa tugas berat ini telah dijanjikan pahala besar. Sebuah hadist dari Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahili, menyatakan
“Allah dan para MalaikatNya dan penduduk langit dan bumi, bahkan semut di bebatuan dan ikan,
berdoa uantuk berkah pada diri mereka yang mengajar orang – orang dengan baik” (H.R.
Tirmidzi).
Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan. Tujuan – tujuan pendidikan yang telah digariskan syariat islam adalah:
Membentuk manusia bertaqwa yang memiliki kepribadian islam (syakhshiyyah islamiyyah) secara
utuh, yakni pola pokir dan pola sikapnya didasarkan pada akidah islam.
Menciptakan ulama, intelektual dan tenaga ahli dalam jumlah berlimpah di setiap bidang kehidupan
yang merupakan sumber manfaat bagi umat, melayani masyarakat dan peradaban – serta akan
membuat negara Islam menjadi negara terdepan, kuat dan berdaulat sehingga menjadikan Islam
sebagai ideology yang mendominasi di dunia.
Disamping itu, guru dalam pandangan Islam harus memastikan dirinya menjadi kualitas sumber
daya manusia berdasarkan ideology islam. Sehingga guru yang berkualitas ini akan menghasilkan
generasi yang tidak hanya unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga memiliki
kepribadian yang luar biasa. Ditambah dengan tujuan pendidikan seperti ini output yang akan
dihasilkan dari pendidikan Islam adalah generasi yang bertaqwa, tunduk dan taat pada hukum –
hukum Allah bukan generasi yang miskin moralitas, lemah dan tidak memiliki ghirah agama.
Tujuan hakiki inilah yang akan mengantarkan masyarakat, pembangunan yang produktif dan
luhurnya peradaban. Dengan tujuan pendidikan yang benar, maka ilmu pengetahuan akan
mendatangkan keberkahan, seperti berkahnya air hujan yang menyirami tanah yang subur, dimana
kemudian manfaatnya terus mengalir menjadi manfaat yang banyak bagi kehidupan bahkan dalam
dimensi hidup bermasyarakat dan bernegara.
(Wallahu A'lam Bishawab).
Komentar
Posting Komentar