Oleh : Desi Noviyanti S.Pd ( Guru BK)
Pejabat adalah orang yang di pilih untuk memudahkan rakyat yang di pimpinnya, pemimpin di pilih agar mampu mengontrol sebuah istitusi bahkan negara agar tercipta ketenangan dan keteraturan. Tanpa pemimpin akan terjadi kekacauan atau ketidakjelasan orientasi dalam mengarahkan suatu yang dipimpinnya.
Namun kepimpinan itu mulai pudar, tak kala orientasi kepimpinan untuk kepentingan bukan kepentingan sang maha kuasa. Akhir januari 2019 ini muncul fenomena hastag yang gaji kamu siapa. Fenomena ini sungguh sangat memperihantinkan, bagaimana tidak seolah-olah ingin menunjukkan bahwa negeri ini milik seseorang, miliki kelompok, milik individu, tak sejengkalpun milik pihak lain, ibarat nya yang lain, menumpang. Cengkaraman itu begitu kuat sampai menjalar ke seluruh sendi kehidupan. Sehingga dengan mudahnya mengatakan hal seperti itu, disini terlihat letak gagalnya suatu negara dalam menjadi perisai mengurus rakyatnya.
Paradigma sekulerisme ini sudah begitu akut, begitu klimaks dan merasuki kaum muslim di negeri ini. ASNpun di doktrinkan bahwa rezeki itu diatur oleh pihak penguasa, jika tak mau tunduk kalian tak akan mendapat rezeki, konsep rezeki yang datangnya dari Allah terkikis oleh paradigma sekulerisme.
Dalam negara yang menganut demokrasi terdapat prinsip kebebasan, salah satunya kebebasan beragama. Kebebasan beragama yang lahir dari rahim aqidah sekulerisme memisahkan agama dengan kehidupan ini hanya menjadikan agama dalam lingkup masalah ibadah, seperti sholat, puasa, bayar zakat, membaca Alquran, hukum nikah, meninggal. Namun dalam dimensi ekonomi, pergaulan, hukum dan hubungan sesama manusia tak ingin di atur oleh sang pencipta. Keagungan Allah di rampas, di singkirkan bahkan di koreksi atas nama konstotusi dalam mengatur di mensi tersebut, sehingga terciptalah pemimpin yang mestinya mengayomi masyarakat terputus, hilang bahkan rusak karena tak merasa di awasin oleh Allah. Sehingga gampang mengucapkan atau bertingkah laku seenaknya. Sindrom ini sebenarnya bukan detik ini, ketika tidak ada berkesusaian akan mengatakan saya pancasila, jangan suriahkan indonesia, radikal, exstrim, teroris, persekusi bahkan stigma-stigma lainnya ketika berseberangan dengan kepentingan rezim. pancasila di jadikan sesuai rasa rezim. Hal ini menjadikan pihak yang punya kekuasaan baik modal, kedudukan, harta, nama dengan mudahnya menuduh pihak yang menganggu kepentingan. Sebagai pihak yang paling intoleran, perusak negeri ini. Sedangkan mereka paling toleran, palin baik. Paling pancasialis.
Namun jika di tilik munculnya UU minerba, PMA di jual atas nama rakyat dengan dalih investasi dan kesejahteraan di pimpin oleh hikamat kebijaksanana, semua atas nama. Namun saat terjadinya Virus LGBT, UU P-KS dan seks bebas malah di jadikan rujukan atas nama pelanggaran HAM, kekerasan kaum hawa dan lain-lain. Virus sekulerisme bukan hanya merusak pemikiran pihak penguasa, namun masyarakat biasa juga memiliki paradigma yang sama memutarbalikkan badannnya untuk menantang gerak-gerakan yang ingin mengembalikan kehidupan islam dengan gampangnya, masyarakat mengatakan pada ormas islam tersebut jangan tinggal di indonesia, NKRI sudah harga mati, memilih-milih hukum Allah, menghalang-halangi gerakan islam dan sebagainya. Siswa yang memakai pakaian jilbab ( QS.Al-Ahzab: 59) dan khimar atau kerudung ( QS. An-Nur: 31). Sebagai ketundukan pada Allah dianggap pembangkang, tak mencintai NKRI dan stigma lainnya. Hubungan antar siswa dan guru tidak terjadi sesuai fitrah gurupun ingi dihargai tapi secara pribadi terwujud ahlak yang jauh dari alquran demikian sebaliknya. Visi dan misi pendidikan dan sesuai cita-cita UU 1945 goyah, gonjang bahkan hancur akibat kiblat pendidikan sebagai oriented bisnis dengan paradigma liberal, orang tuapun dalam mendidik anaknya juga menjadi mengidap sekulerisme stadium 4. Anak di harapkan dalam sekolah untuk mengangkat derajat, mendapat nilai materi sebagai timbal balik ke orang tua yang telah mengurusnya, sehingga wajarlah bila kita lihat pendidikan selalu bergonta-ganti kurikulum dan menghasilakn generasi yang malas dalam belajar dan lost generation.
Cita-cita pendidikan hanya sebatas formal diatas kertas karena bagaimana tidak sang maha khalik yang lebih tahu ciptaannya hanya ada saat moment tertentu. Dalam rumah tanggapun nampak terasa nuansa merasa memilki pasangan sangat merasuk. Dimana ketika suami atau istri merasa memilki sehingga timbul curiga mencurigai saling memata-matai, bahkan lebih rela suami berselingkuh daripada di poligami. Hukum Allah yang menghalalkan poligami mengharamkan zina terkoyak, sehingga rela suami berzina atau istri berzina yang penting dia masih suamiku, masih istriku bahkan kisah poliandri yang di prediksikan akan tejadi perkembangan menunjukan bagaimana rusaknya paradigma pemikiran kaum muslim. Kisah seorang ibu yang ikhlas anak kandungnya bersetubuh dengan ayah tirinya di depan mata menunjukkan bagaiman akutnya aqidah liberal sekulerisme mengeser atau menghapus keimanan muslim. Atas nama kekhawatiran di duakan sehingga, gejala ini dapat dilihat dengan munculnya pelakor, pebinor dan feminisme serta menculna hari ibu sebgai bentuk kerusakan sekulerisme. Inilah Cengkraman aqidah sekulerisme rasa liberal mengidap di seluruh sendi kehidupan umat muslim. Motivasi bukan karena keimanan tapi karena manfaat, sehingga jika tak bermanfaat individu akan menolak, sekulerisme mengiring krisis keimanan. Pihak penguasa juga anti kritik ketika berseberangan malah menanggap sebagai musuh yang layaki di gebuk.
Islam menjaga Aqidah
Aqidah atau keimanan adalah perkara yang sangat penting bagi manusia, terutama umat Islam. Karena, ia akan menentukan surga atau nerakanya seseorang. Masalahnya adalah, seseorang yang telah memeluk aqidah Islam, tidak ada jaminan bahwa ia akan terus memeluk Islam hingga meninggal dunia. Keimanan seseorang bisa naik, bisa juga turun. Bahkan, iman seseorang juga bisa tercerabut dari dalam dirinya. Oleh karena itulah, keimanan seseorang, bahkan keimanan dari ummat Islam secara keselurhan itu perlu dijaga. Siapa yang mampu menjaga iman, baik secara individu, dalam keluarga, masyarakat, bahkan untuk seluruh umat Islam? Islam telah memiliki mekanisme penjagaan yang berlapis untuk melindungi aqidah umat Islam secara keseluruhan. Penjagaan yang pertama dan yang utama akan diberikan oleh Negara, negara itu adalah negara islam dalam bingkai Khilafah.
Mengapa Negara Khilafah wajib menjaga aqidah umatnya? Peran Negara Khilafah dalam menjaga aqidah ummatnya harus dipandang sebagai wujud cinta dan kasih sayang yang tinggi, agar jangan sampai ada (walaupun hanya satu) dari ummatnya ada yang tersentuh api neraka. Jangan sampai ada yang keimanan dari umat ini terus mengalami kemerosotan, bahkan keluar (murtad) dari agama Islam. Sebab, jika manusia itu sampai mati dalam keadaan kafir, maka dia akan bisa masuk neraka untuk selama-lamanya, sebagaimana Firman Allah SWT:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS al-Baqarah [2]: 217).
Bagaimana cara Negara Khilafah menjaga aqidah umatnya? Ada beberapa cara yang harus dilakukan Negara Khilafah dalam menjaga aqidah umatnya, diantaranya adalah: 1. Pemahaman dan pembinaan Islam akan terus diajarkan dan ditanamkan secara formal di seluruh jenjang pendidikan oleh Negara Khilafah. 2. Pemahaman dan pembinaan Islam juga akan terus didakwahkan oleh Negara Khilafah melalui berbagai media, tempat ibadah, majlis ta’lim, dan lain-lain yang ada di tengah-tengah masyarakat. 3. Negara Khilafah juga akan terus mendorong kepada seluruh kaum muslimin untuk berperan aktif melakukan amar ma’ruf nahi munkar, agar aqidah dan pemahaman Islam di tengah-tengah masyarakat dapat terus terjaga. 4. Aqidah dan pemahaman ummat Islam Insya Allah juga akan dapat terus terjaga dengan penerapan Islam dalam kehidupan sehari-hari oleh Negara Khilafah, sehingga akan nampak keagungan dan kemuliaan Islam di mata ummat.
Oleh karena itu, jika semua upaya telah dilakukan oleh Negara Khilafah, tetapi masih ada juga yang mencoba murtad dari Islam, maka hukumannya tidak main-main. Jika ada orang Islam yang mencoba murtad, mengaku sebagai nabi, atau menistakan Islam dan syariahnya, maka hukumannya adalah akan dibunuh. Nabi saw. bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Siapa saja yang murtad dari agamanya, bunuhlah! (HR at-Tirmidzi).
Cara Islam ini akan menjadi semacam imunitas bagi seluruh kaum Muslim. Dengan cara ini pula pemurtadan akan menghadapi tembok tebal. Virus kemurtadan yang ingin ditularkan oleh orang-orang murtad seperti saat ini tidak akan terjadi. Mengapa? Karena tak akan ada orang murtad yang hidup dan menjadi misionaris.
Penjagaan Negara Khilafah yang luar biasa terhadap agama ini tidak akan memungkinkan munculnya pemikiran-pemikiran liberal seperti HAM atas nama LGBT, pergaulan bebas, hubungan penguasa dan rakyat atas dasar ketakutan, ketaqwaan dan ketundukan pada Allah. Nilai-nilai menjadikan Allah sebagai pengatur dan pengawas yang senantiasa mengeker begitu merasuk ke sanubari setiap manusia. Ketinggian ini tentu pernah dirasakan ketika lahir-lahir pemimpin islam apada masa kedaulah khilafah yang pernah berjaya selama 13 abad. Contoh atau corong Rasulullah sebagi suri teladan pada umat islam di situasiakan oleh negara. Sehingga hingan siswa dengan guru, suami dengan istri, orang tua dengan anak. Bergaul atas nama ketaqwaan. Sehingga liran-aliran sesat, seperti yang terjadi di negeri ini tidak ada. MUI Pusat mencatat ada lebih dari 300 aliran sesat di Indonesia. Tidak mungkin ada yang menipu ribuan orang dengan nabi palsunya. Ahmadiyah dan aliran sesat lainnya juga tidak akan bisa hidup dan menyebarkan ajaran sesatnya seperti sekarang. Negara Khilafah pasti akan menghentikan dan menghabisi ajarannya sampai ke akar-akarnya.
Penjagaan Negara Khilafah atas agama ini pun tidak akan memungkinkan munculnya orang-orang liberal yang merusak Islam dari dalam. Khilafah akan menghentikan mereka sebelum mereka menyebarkan pemikiran rusak dan sesat mereka. Negara Khilafah tak akan memberikan ruang sedikitpun bagi pemikiran Barat (liberalisme, sekularisme, pluralisme dan kapitalisme) berkembang di dunia pendidikan. Penistaan terhadap Islam, al-Quran dan Nabi saw. juga tidak akan muncul. Syariah Islam telah memiliki sejumlah sanksi keras atas penistaan ini. Selain menjaga aqidah orang yang sudah beraqidah Islam, negara khilafah juga mengajak pemeluk aqidah lainnya untuk masuk Islam. Negara mendakwahi mereka dan menjelaskan kebenaran aqidah Islam serta kebatilan aqidah selainnya. Dengan begitu, diharapkan mereka mau meninggalkan aqidah kufur mereka dan meyakini Islam dengan sukarela dan kemauan sendiri.
Kendati demikian, mereka tidak boleh dipaksa untuk masuk Islam. Allah SWT berfirman: ﴿لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّيْنِ﴾
Tidak ada paksaan dalam memeluk agama [Islam] (QS al-Baqarah [2]: 256). Jika mereka mau tunduk hukum hukum Islam dan membayar jizyah sebagai bukti kesediaanya menjadi kafir dzimmi, maka darah, harta, dan kehormatannya pun dilindungi. Nabi saw. bersabda:
كَتَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ، أَنَّهُ مَنْ كَانَ عَلَى يَهُودِيَّةٍ أَوْ نَصْرَانِيَّةٍ، فَإِنَّهُ لا يُفْتَنُ عَنْهَا، وَعَلَيْهِ الْجِزْيَةُ
Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, bahwa siapa saja yang tetap memeluk Yahudi atau Nasrani, dia tidak boleh dihasut [untuk meninggalkan agamanya], dan dia wajib membayar jizyah (HR Ibn Hazm dalam kitabnya, Al-Muhalla).
Ketentuan ini dipraktikkan sejak masa Nabi saw. Di Madinah ketika itu hidup beberapa komunitas berbeda yakni Islam, Yahudi, dan orang-orang musyrik. Demikian pula kekuasaan Islam meluas ke seluruh Jazirah Arab, terdapat komunitas Nasrani di Najran. Kondisi itu terus berlangsung hingga masa Khilafah di sepanjang masa keberadaannya. Ketika Islam berkuasa di Spanyol, Islam bisa mengayomi Nasrani dan Yahudi sehingga saat itu Andalusia dikenal dengan sebutan negara dengan tiga agama. Pengakuan Islam terhadap pluralitas masyarakat ini tentu saja tidak lepas dari ajaran Islam itu sendiri.
Di dalam negara yang menganut ideologi kapitalisme, setiap warganya diberi ruang kebebasan beragama dan mengekspresikan keyakinannya. Bentuk keyakinan apapun akan dilindungi oleh undang-undang. Seorang individu misalnya, dapat dengan mudah berpindah dari satu agama ke agama lainnya tanpa ada larangan dan sanksi atasnya. Kelompok dan organisasi keagamaan dalam berbagai model keyakinan dan ritual juga dibiarkan tumbuh subur. Hal ini karena negara harus steril dari agama apapun. Perannya hanya sebagai regulator.
Berbeda halnya dengan Islam, ideologi tersebut telah menempatkan negara sebagai bagian yang vital dalam mengatur ekspresi keberagamaan warga negaranya. Hal ini karena negara di dalam Islam ditegakkan atas dasar aqidah Islam. Konsekuensinya, segala sesuatu yang berhubungan dengan institusi negara, hak dan kewajiban negara dan warga negaranya didasarkan pada Islam. Aqidah Islam juga menjadi asas undang-undang dasar, undang-undang, dan segala peraturan yang berlaku. Intinya, tak satupun bagian yang lepas dari aqidah Islam dan hukum-hukum yang terpancar darinya.
/Peran Negara Menjaga Aqidah/
Salah satu tanggung jawab negara adalah membina dan menjaga kemurnian aqidah umat Islam. Oleh karena itu, negara menerapkan berbagai kebijakan yang saling mendukung bagi terciptanya aqidah yang bersih, kuat, dan berpengaruh pada diri kaum Muslimin. Pada saat yang sama, negara berupaya agar aqidah tersebut dapat tersiar ke seluruh dunia agar Islam sebagai rahmatan lil alamin dapat dirasakan kenikmatannya. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah muhammadun rasulullah. Apabila mereka melakukan hal tersebut maka harta, darah, dan kehormatannya akan terpelihara dariku kecuali ada hak Islam atasnya dan hisab mereka di tangan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di dalam negara Khilafah Islamiyah sejumlah pilar sistemik ditegakkan untuk membentuk dan menjaga aqidah umat.
Pertama, negara berkewajiban untuk mendidik warga negaranya dengan kurikulum yang berbasis aqidah Islam. Kurikulum pendidikan dan materi pelajaran yang diajarkan di seluruh lembaga pendidikan, baik negeri ataupun swasta, harus sesuai dengan aqidah Islam dan tidak boleh bertentangan sedikit pun darinya. Dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, aqidah Islam dan tsaqafah yang terpancar darinya semisal tafsir, hadis, fiqih, dan sirah menjadi pelajaran wajib. Sebab fungsi utama pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian siswa agar sejalan dengan aqidah Islam, di samping memberikan pengetahuan dan keterampilan dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Kedua, negara Khilafah juga akan membunuh orang-orang murtad, yakni orang yang keluar dari Islam secara sengaja. Namun sebelumnya mereka diminta untuk bertaubat setidaknya selama tiga hari. Jika ia murtad karena menganggap ajaran Islam lemah, maka ia akan diberikan penjelasan tentang kebenaran Islam oleh ulama yang ahli di bidang tersebut.
Dari Jabir ia berkata: “Bahwa Ummu Marwan telah murtad, maka Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk menawarkan Islam padanya. Jika ia bertaubat maka diterima, namun jika tidak maka ia dibunuh.” (HR. al-Baihaqy dan ad-Daruquthny).
Ketiga, negara melarang setiap bentuk penyebaran dan propaganda ide-ide dan perilaku yang bertentangan dengan aqidah Islam. Oleh karena itu, individu dan organisasi apapun dilarang untuk menyebarkan ide-ide pemikiran dan ideologi kufur, seperti program kristenisasi, kapitalisme, sosialisme, pemikiran yang meragukan kebenaran risalah Islam, serta pemikiran yang dapat mengakibatkan kemunduran umat. Pelakunya tak akan dibiarkan melenggang, namun akan diseret ke meja hijau dan dikenakan sanksi ta’zir yang kadarnya ditetapkan oleh Khalifah.
Salah contoh ketegasan Khalifah menjaga aqidah Islam adalah hukuman mati yang dijatuhkan kepada Ghilan ad-Dimasyqy oleh Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Bukan itu saja, jasadnya juga disalib di pintu kota Damsyiq (al-Milal wan Nihal, hal. 48). Hal itu lantaran ia terus menyebarkan paham yang menafikan takdir Allah. Padahal sebelumnya Imam al-Auza’iy atas permintaan Khalifah telah mendebat dan mematahkan argumentasinya. Demikian pula sikap Khalifah al-Mu’tashim, ketika seorang wanita Muslimah di Umuriyyah yang bernama Syurah al-‘Alawiyah meminta tolong padanya akibat penghinaan yang dilakukan oleh orang-orang Romawi kepada kaum Muslim dan pemaksaan kepada mereka untuk masuk Kristen. Beliau langsung mengirimkan pasukan untuk menumpas dan menguasai wilayah tersebut (Tarikh ad-Daulah al-‘Aliyah al-Utsmaniyyah, hal.46).
Keempat, seluruh media massa, baik cetak ataupun elektronik, tidak diperkenankan untuk menyiarkan berita dan program apapun yang bertentangan dengan aqidah Islam. Program-program yang berbau klenik dan porno misalnya, tidak akan pernah ditolerir oleh negara. Jika melanggar ketentuan tersebut, maka Khalifah tidak hanya sekedar menghukum pelakunya, namun juga menghentikan operasi media tersebut.
Kelima, negara melarang setiap partai politik, organisasi atau lembaga apapun yang berdiri atas asas selain Islam seperti sekularisme dan komunisme. Hal ini karena eksistensi dan sepak terjang sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh asasnya. Membiarkan kelompok seperti di atas tumbuh sama saja dengan memberikan peluang bagi mereka untuk mengacak-acak aqidah umat Islam. Belum lagi mereka dapat menjadi perpanjangan tangan negara-negara kafir untuk menghancurkan umat Islam. Pengalaman pahit gerakan misionaris di Lebanon di akhir keruntuhan Daulah Utsmaniyah cukup menjadi pelajaran yang sangat berharga.
/Non Muslim dalam Negara Islam/
Pada prinsipnya negara akan menerapkan hukum Islam kepada seluruh warga negaranya, baik Muslim ataupun yang non Muslim. Khusus bagi non Muslim yang dikenal sebagai ahlu dzimmah diperlakukan sejumlah hukum, antara lain:
Pertama, mereka dibiarkan untuk menganut keyakinan mereka dan menjalankan kegiatan ibadah mereka. Mereka tidak boleh sama sekali dipaksa masuk ke dalam agama Islam.
Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair, ia berkata, “Rasulullah ﷺ pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, ‘Siapa saja yang tetap memeluk agama Nashrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya, mereka hanya wajib membayar jizyah.’” (HR. Ibnu ‘Ubaid).
Meski demikian, dakwah kepada mereka tetap dilakukan. Umar bin Abdul Aziz misalnya, telah memberikan bantuan ekonomi dalam jumlah besar kepada negara-negara yang baru dibebaskan dan secara lembut mengajak mereka masuk Islam. Beliau juga memerintahkan kepada para walinya untuk mengajak ahlu dzimmah masuk ke dalam Islam. Mereka yang masuk Islam dididik dengan baik. Beliau misalnya telah mengutus sejumlah fuqaha untuk mendidik penduduk Bar-bar di wilayah Afrika Utara. (Tarikh ad-Daulah al-Umawiyyah, hal. 140).
Kedua, ahlu dzimmah wajib taat dan patuh pada seluruh hukum syara’ yang diterapkan dalam kehidupan publik, seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan sanksi. Sementara dalam urusan yang berkaitan dengan makanan dan pakaian, mereka diberi pengecualian. Mereka diberi keleluasaan untuk mengkonsumsi makanan dan minuman, termasuk babi dan khamr. Demikan pula dengan pakaian, kaum wanitanya tidak dipaksakan untuk memakai jilbab meski tetap diatur agar tidak merusak tatanan sosial masyarakat Islam. Urusan pernikahan dan perceraian di antara mereka juga diatur berdasarkan agama mereka.
Ketiga, kaum Muslim wajib menghormati dan menjaga hak-hak mereka selama mereka melaksanakan kewajiban mereka sebagai ahlu dzimmah. Harta dan darah mereka wajib dijaga.
Diriwayatkan Al-Khathib dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Barangsiapa menyakiti dzimmiy, maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakannya di hari kiamat.” (al-Jaami’ as-Shaghir, hadits hasan).
Kaum Muslim sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam al-Qarafi juga dituntut untuk bersikap baik kepada mereka, seperti menolong mereka dari kesulitan, memberi makanan ketika mereka lapar, dan berbicara kepada mereka dengan sopan. Mereka juga dinasihati dengan tulus dalam berbagai urusan mereka. Di samping itu juga harus dibela dari pihak manapun yang berupaya untuk menyakiti mereka, mencuri harta mereka atau merampas hak-hak mereka. Dengan demikian ahlu dzimmah dapat merasakan keadilan dan kesejahteraan hidup di bawah naungan Islam dan pada akhirnya dapat mendorong mereka untuk masuk Islam secara sukarela, sehingga dengan kuatnya pondasi keimanan sebagi negara perisainya penguasa tidak akan merasa dia yang memilki negara dan menakut-nakutin rakyatnya karena begitu kuatnya akar aqidah islam, orang tua, guru, siswa, suami bahkan anak-anak tidak akan bertindak seenaknya karena adanya taqqarub illah yang begitu tinggi dan pengawasan negara kepada rakyatnya untuk selalu tunduk kepada Allah bukan tunduk pada penguasa, nuansa hubungan pejabat dan rakyat bukan karena ada maunya atau ada kepentinga atau hubungan yang kita saksikan saat ini, pemimpin muncul ketika ada nuansa pemilu janji yang banyak namun di ingkari. Namun karena kesadaran sebagai mahluk Allah. Sehingga pemikiran yang gaji kamu siapa, atau sikap merasa paling hebat, paling NKRI hilang, atau negara yang di gaji musnah karena sejatinya hanya islamlah yang menghargai manusia, menjadikan manusia di gaji layaknya karena keimanan, bukan mengejar materi, bukan menunggu waktu mau pulang. mereka bekerja, beraktivitas, bersikap, bergaul muncul karena nuansa iman. Bukan bekerja atas nama, namun bekerja karena Ridho Allah dan itu hanya dapat dibangn ketika dalam bingkai khilafah bukan demokrasi Wallahu a’lam bishawab.
Pejabat adalah orang yang di pilih untuk memudahkan rakyat yang di pimpinnya, pemimpin di pilih agar mampu mengontrol sebuah istitusi bahkan negara agar tercipta ketenangan dan keteraturan. Tanpa pemimpin akan terjadi kekacauan atau ketidakjelasan orientasi dalam mengarahkan suatu yang dipimpinnya.
Namun kepimpinan itu mulai pudar, tak kala orientasi kepimpinan untuk kepentingan bukan kepentingan sang maha kuasa. Akhir januari 2019 ini muncul fenomena hastag yang gaji kamu siapa. Fenomena ini sungguh sangat memperihantinkan, bagaimana tidak seolah-olah ingin menunjukkan bahwa negeri ini milik seseorang, miliki kelompok, milik individu, tak sejengkalpun milik pihak lain, ibarat nya yang lain, menumpang. Cengkaraman itu begitu kuat sampai menjalar ke seluruh sendi kehidupan. Sehingga dengan mudahnya mengatakan hal seperti itu, disini terlihat letak gagalnya suatu negara dalam menjadi perisai mengurus rakyatnya.
Paradigma sekulerisme ini sudah begitu akut, begitu klimaks dan merasuki kaum muslim di negeri ini. ASNpun di doktrinkan bahwa rezeki itu diatur oleh pihak penguasa, jika tak mau tunduk kalian tak akan mendapat rezeki, konsep rezeki yang datangnya dari Allah terkikis oleh paradigma sekulerisme.
Dalam negara yang menganut demokrasi terdapat prinsip kebebasan, salah satunya kebebasan beragama. Kebebasan beragama yang lahir dari rahim aqidah sekulerisme memisahkan agama dengan kehidupan ini hanya menjadikan agama dalam lingkup masalah ibadah, seperti sholat, puasa, bayar zakat, membaca Alquran, hukum nikah, meninggal. Namun dalam dimensi ekonomi, pergaulan, hukum dan hubungan sesama manusia tak ingin di atur oleh sang pencipta. Keagungan Allah di rampas, di singkirkan bahkan di koreksi atas nama konstotusi dalam mengatur di mensi tersebut, sehingga terciptalah pemimpin yang mestinya mengayomi masyarakat terputus, hilang bahkan rusak karena tak merasa di awasin oleh Allah. Sehingga gampang mengucapkan atau bertingkah laku seenaknya. Sindrom ini sebenarnya bukan detik ini, ketika tidak ada berkesusaian akan mengatakan saya pancasila, jangan suriahkan indonesia, radikal, exstrim, teroris, persekusi bahkan stigma-stigma lainnya ketika berseberangan dengan kepentingan rezim. pancasila di jadikan sesuai rasa rezim. Hal ini menjadikan pihak yang punya kekuasaan baik modal, kedudukan, harta, nama dengan mudahnya menuduh pihak yang menganggu kepentingan. Sebagai pihak yang paling intoleran, perusak negeri ini. Sedangkan mereka paling toleran, palin baik. Paling pancasialis.
Namun jika di tilik munculnya UU minerba, PMA di jual atas nama rakyat dengan dalih investasi dan kesejahteraan di pimpin oleh hikamat kebijaksanana, semua atas nama. Namun saat terjadinya Virus LGBT, UU P-KS dan seks bebas malah di jadikan rujukan atas nama pelanggaran HAM, kekerasan kaum hawa dan lain-lain. Virus sekulerisme bukan hanya merusak pemikiran pihak penguasa, namun masyarakat biasa juga memiliki paradigma yang sama memutarbalikkan badannnya untuk menantang gerak-gerakan yang ingin mengembalikan kehidupan islam dengan gampangnya, masyarakat mengatakan pada ormas islam tersebut jangan tinggal di indonesia, NKRI sudah harga mati, memilih-milih hukum Allah, menghalang-halangi gerakan islam dan sebagainya. Siswa yang memakai pakaian jilbab ( QS.Al-Ahzab: 59) dan khimar atau kerudung ( QS. An-Nur: 31). Sebagai ketundukan pada Allah dianggap pembangkang, tak mencintai NKRI dan stigma lainnya. Hubungan antar siswa dan guru tidak terjadi sesuai fitrah gurupun ingi dihargai tapi secara pribadi terwujud ahlak yang jauh dari alquran demikian sebaliknya. Visi dan misi pendidikan dan sesuai cita-cita UU 1945 goyah, gonjang bahkan hancur akibat kiblat pendidikan sebagai oriented bisnis dengan paradigma liberal, orang tuapun dalam mendidik anaknya juga menjadi mengidap sekulerisme stadium 4. Anak di harapkan dalam sekolah untuk mengangkat derajat, mendapat nilai materi sebagai timbal balik ke orang tua yang telah mengurusnya, sehingga wajarlah bila kita lihat pendidikan selalu bergonta-ganti kurikulum dan menghasilakn generasi yang malas dalam belajar dan lost generation.
Cita-cita pendidikan hanya sebatas formal diatas kertas karena bagaimana tidak sang maha khalik yang lebih tahu ciptaannya hanya ada saat moment tertentu. Dalam rumah tanggapun nampak terasa nuansa merasa memilki pasangan sangat merasuk. Dimana ketika suami atau istri merasa memilki sehingga timbul curiga mencurigai saling memata-matai, bahkan lebih rela suami berselingkuh daripada di poligami. Hukum Allah yang menghalalkan poligami mengharamkan zina terkoyak, sehingga rela suami berzina atau istri berzina yang penting dia masih suamiku, masih istriku bahkan kisah poliandri yang di prediksikan akan tejadi perkembangan menunjukan bagaimana rusaknya paradigma pemikiran kaum muslim. Kisah seorang ibu yang ikhlas anak kandungnya bersetubuh dengan ayah tirinya di depan mata menunjukkan bagaiman akutnya aqidah liberal sekulerisme mengeser atau menghapus keimanan muslim. Atas nama kekhawatiran di duakan sehingga, gejala ini dapat dilihat dengan munculnya pelakor, pebinor dan feminisme serta menculna hari ibu sebgai bentuk kerusakan sekulerisme. Inilah Cengkraman aqidah sekulerisme rasa liberal mengidap di seluruh sendi kehidupan umat muslim. Motivasi bukan karena keimanan tapi karena manfaat, sehingga jika tak bermanfaat individu akan menolak, sekulerisme mengiring krisis keimanan. Pihak penguasa juga anti kritik ketika berseberangan malah menanggap sebagai musuh yang layaki di gebuk.
Islam menjaga Aqidah
Aqidah atau keimanan adalah perkara yang sangat penting bagi manusia, terutama umat Islam. Karena, ia akan menentukan surga atau nerakanya seseorang. Masalahnya adalah, seseorang yang telah memeluk aqidah Islam, tidak ada jaminan bahwa ia akan terus memeluk Islam hingga meninggal dunia. Keimanan seseorang bisa naik, bisa juga turun. Bahkan, iman seseorang juga bisa tercerabut dari dalam dirinya. Oleh karena itulah, keimanan seseorang, bahkan keimanan dari ummat Islam secara keselurhan itu perlu dijaga. Siapa yang mampu menjaga iman, baik secara individu, dalam keluarga, masyarakat, bahkan untuk seluruh umat Islam? Islam telah memiliki mekanisme penjagaan yang berlapis untuk melindungi aqidah umat Islam secara keseluruhan. Penjagaan yang pertama dan yang utama akan diberikan oleh Negara, negara itu adalah negara islam dalam bingkai Khilafah.
Mengapa Negara Khilafah wajib menjaga aqidah umatnya? Peran Negara Khilafah dalam menjaga aqidah ummatnya harus dipandang sebagai wujud cinta dan kasih sayang yang tinggi, agar jangan sampai ada (walaupun hanya satu) dari ummatnya ada yang tersentuh api neraka. Jangan sampai ada yang keimanan dari umat ini terus mengalami kemerosotan, bahkan keluar (murtad) dari agama Islam. Sebab, jika manusia itu sampai mati dalam keadaan kafir, maka dia akan bisa masuk neraka untuk selama-lamanya, sebagaimana Firman Allah SWT:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS al-Baqarah [2]: 217).
Bagaimana cara Negara Khilafah menjaga aqidah umatnya? Ada beberapa cara yang harus dilakukan Negara Khilafah dalam menjaga aqidah umatnya, diantaranya adalah: 1. Pemahaman dan pembinaan Islam akan terus diajarkan dan ditanamkan secara formal di seluruh jenjang pendidikan oleh Negara Khilafah. 2. Pemahaman dan pembinaan Islam juga akan terus didakwahkan oleh Negara Khilafah melalui berbagai media, tempat ibadah, majlis ta’lim, dan lain-lain yang ada di tengah-tengah masyarakat. 3. Negara Khilafah juga akan terus mendorong kepada seluruh kaum muslimin untuk berperan aktif melakukan amar ma’ruf nahi munkar, agar aqidah dan pemahaman Islam di tengah-tengah masyarakat dapat terus terjaga. 4. Aqidah dan pemahaman ummat Islam Insya Allah juga akan dapat terus terjaga dengan penerapan Islam dalam kehidupan sehari-hari oleh Negara Khilafah, sehingga akan nampak keagungan dan kemuliaan Islam di mata ummat.
Oleh karena itu, jika semua upaya telah dilakukan oleh Negara Khilafah, tetapi masih ada juga yang mencoba murtad dari Islam, maka hukumannya tidak main-main. Jika ada orang Islam yang mencoba murtad, mengaku sebagai nabi, atau menistakan Islam dan syariahnya, maka hukumannya adalah akan dibunuh. Nabi saw. bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Siapa saja yang murtad dari agamanya, bunuhlah! (HR at-Tirmidzi).
Cara Islam ini akan menjadi semacam imunitas bagi seluruh kaum Muslim. Dengan cara ini pula pemurtadan akan menghadapi tembok tebal. Virus kemurtadan yang ingin ditularkan oleh orang-orang murtad seperti saat ini tidak akan terjadi. Mengapa? Karena tak akan ada orang murtad yang hidup dan menjadi misionaris.
Penjagaan Negara Khilafah yang luar biasa terhadap agama ini tidak akan memungkinkan munculnya pemikiran-pemikiran liberal seperti HAM atas nama LGBT, pergaulan bebas, hubungan penguasa dan rakyat atas dasar ketakutan, ketaqwaan dan ketundukan pada Allah. Nilai-nilai menjadikan Allah sebagai pengatur dan pengawas yang senantiasa mengeker begitu merasuk ke sanubari setiap manusia. Ketinggian ini tentu pernah dirasakan ketika lahir-lahir pemimpin islam apada masa kedaulah khilafah yang pernah berjaya selama 13 abad. Contoh atau corong Rasulullah sebagi suri teladan pada umat islam di situasiakan oleh negara. Sehingga hingan siswa dengan guru, suami dengan istri, orang tua dengan anak. Bergaul atas nama ketaqwaan. Sehingga liran-aliran sesat, seperti yang terjadi di negeri ini tidak ada. MUI Pusat mencatat ada lebih dari 300 aliran sesat di Indonesia. Tidak mungkin ada yang menipu ribuan orang dengan nabi palsunya. Ahmadiyah dan aliran sesat lainnya juga tidak akan bisa hidup dan menyebarkan ajaran sesatnya seperti sekarang. Negara Khilafah pasti akan menghentikan dan menghabisi ajarannya sampai ke akar-akarnya.
Penjagaan Negara Khilafah atas agama ini pun tidak akan memungkinkan munculnya orang-orang liberal yang merusak Islam dari dalam. Khilafah akan menghentikan mereka sebelum mereka menyebarkan pemikiran rusak dan sesat mereka. Negara Khilafah tak akan memberikan ruang sedikitpun bagi pemikiran Barat (liberalisme, sekularisme, pluralisme dan kapitalisme) berkembang di dunia pendidikan. Penistaan terhadap Islam, al-Quran dan Nabi saw. juga tidak akan muncul. Syariah Islam telah memiliki sejumlah sanksi keras atas penistaan ini. Selain menjaga aqidah orang yang sudah beraqidah Islam, negara khilafah juga mengajak pemeluk aqidah lainnya untuk masuk Islam. Negara mendakwahi mereka dan menjelaskan kebenaran aqidah Islam serta kebatilan aqidah selainnya. Dengan begitu, diharapkan mereka mau meninggalkan aqidah kufur mereka dan meyakini Islam dengan sukarela dan kemauan sendiri.
Kendati demikian, mereka tidak boleh dipaksa untuk masuk Islam. Allah SWT berfirman: ﴿لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّيْنِ﴾
Tidak ada paksaan dalam memeluk agama [Islam] (QS al-Baqarah [2]: 256). Jika mereka mau tunduk hukum hukum Islam dan membayar jizyah sebagai bukti kesediaanya menjadi kafir dzimmi, maka darah, harta, dan kehormatannya pun dilindungi. Nabi saw. bersabda:
كَتَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ، أَنَّهُ مَنْ كَانَ عَلَى يَهُودِيَّةٍ أَوْ نَصْرَانِيَّةٍ، فَإِنَّهُ لا يُفْتَنُ عَنْهَا، وَعَلَيْهِ الْجِزْيَةُ
Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, bahwa siapa saja yang tetap memeluk Yahudi atau Nasrani, dia tidak boleh dihasut [untuk meninggalkan agamanya], dan dia wajib membayar jizyah (HR Ibn Hazm dalam kitabnya, Al-Muhalla).
Ketentuan ini dipraktikkan sejak masa Nabi saw. Di Madinah ketika itu hidup beberapa komunitas berbeda yakni Islam, Yahudi, dan orang-orang musyrik. Demikian pula kekuasaan Islam meluas ke seluruh Jazirah Arab, terdapat komunitas Nasrani di Najran. Kondisi itu terus berlangsung hingga masa Khilafah di sepanjang masa keberadaannya. Ketika Islam berkuasa di Spanyol, Islam bisa mengayomi Nasrani dan Yahudi sehingga saat itu Andalusia dikenal dengan sebutan negara dengan tiga agama. Pengakuan Islam terhadap pluralitas masyarakat ini tentu saja tidak lepas dari ajaran Islam itu sendiri.
Di dalam negara yang menganut ideologi kapitalisme, setiap warganya diberi ruang kebebasan beragama dan mengekspresikan keyakinannya. Bentuk keyakinan apapun akan dilindungi oleh undang-undang. Seorang individu misalnya, dapat dengan mudah berpindah dari satu agama ke agama lainnya tanpa ada larangan dan sanksi atasnya. Kelompok dan organisasi keagamaan dalam berbagai model keyakinan dan ritual juga dibiarkan tumbuh subur. Hal ini karena negara harus steril dari agama apapun. Perannya hanya sebagai regulator.
Berbeda halnya dengan Islam, ideologi tersebut telah menempatkan negara sebagai bagian yang vital dalam mengatur ekspresi keberagamaan warga negaranya. Hal ini karena negara di dalam Islam ditegakkan atas dasar aqidah Islam. Konsekuensinya, segala sesuatu yang berhubungan dengan institusi negara, hak dan kewajiban negara dan warga negaranya didasarkan pada Islam. Aqidah Islam juga menjadi asas undang-undang dasar, undang-undang, dan segala peraturan yang berlaku. Intinya, tak satupun bagian yang lepas dari aqidah Islam dan hukum-hukum yang terpancar darinya.
/Peran Negara Menjaga Aqidah/
Salah satu tanggung jawab negara adalah membina dan menjaga kemurnian aqidah umat Islam. Oleh karena itu, negara menerapkan berbagai kebijakan yang saling mendukung bagi terciptanya aqidah yang bersih, kuat, dan berpengaruh pada diri kaum Muslimin. Pada saat yang sama, negara berupaya agar aqidah tersebut dapat tersiar ke seluruh dunia agar Islam sebagai rahmatan lil alamin dapat dirasakan kenikmatannya. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah muhammadun rasulullah. Apabila mereka melakukan hal tersebut maka harta, darah, dan kehormatannya akan terpelihara dariku kecuali ada hak Islam atasnya dan hisab mereka di tangan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di dalam negara Khilafah Islamiyah sejumlah pilar sistemik ditegakkan untuk membentuk dan menjaga aqidah umat.
Pertama, negara berkewajiban untuk mendidik warga negaranya dengan kurikulum yang berbasis aqidah Islam. Kurikulum pendidikan dan materi pelajaran yang diajarkan di seluruh lembaga pendidikan, baik negeri ataupun swasta, harus sesuai dengan aqidah Islam dan tidak boleh bertentangan sedikit pun darinya. Dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, aqidah Islam dan tsaqafah yang terpancar darinya semisal tafsir, hadis, fiqih, dan sirah menjadi pelajaran wajib. Sebab fungsi utama pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian siswa agar sejalan dengan aqidah Islam, di samping memberikan pengetahuan dan keterampilan dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Kedua, negara Khilafah juga akan membunuh orang-orang murtad, yakni orang yang keluar dari Islam secara sengaja. Namun sebelumnya mereka diminta untuk bertaubat setidaknya selama tiga hari. Jika ia murtad karena menganggap ajaran Islam lemah, maka ia akan diberikan penjelasan tentang kebenaran Islam oleh ulama yang ahli di bidang tersebut.
Dari Jabir ia berkata: “Bahwa Ummu Marwan telah murtad, maka Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk menawarkan Islam padanya. Jika ia bertaubat maka diterima, namun jika tidak maka ia dibunuh.” (HR. al-Baihaqy dan ad-Daruquthny).
Ketiga, negara melarang setiap bentuk penyebaran dan propaganda ide-ide dan perilaku yang bertentangan dengan aqidah Islam. Oleh karena itu, individu dan organisasi apapun dilarang untuk menyebarkan ide-ide pemikiran dan ideologi kufur, seperti program kristenisasi, kapitalisme, sosialisme, pemikiran yang meragukan kebenaran risalah Islam, serta pemikiran yang dapat mengakibatkan kemunduran umat. Pelakunya tak akan dibiarkan melenggang, namun akan diseret ke meja hijau dan dikenakan sanksi ta’zir yang kadarnya ditetapkan oleh Khalifah.
Salah contoh ketegasan Khalifah menjaga aqidah Islam adalah hukuman mati yang dijatuhkan kepada Ghilan ad-Dimasyqy oleh Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Bukan itu saja, jasadnya juga disalib di pintu kota Damsyiq (al-Milal wan Nihal, hal. 48). Hal itu lantaran ia terus menyebarkan paham yang menafikan takdir Allah. Padahal sebelumnya Imam al-Auza’iy atas permintaan Khalifah telah mendebat dan mematahkan argumentasinya. Demikian pula sikap Khalifah al-Mu’tashim, ketika seorang wanita Muslimah di Umuriyyah yang bernama Syurah al-‘Alawiyah meminta tolong padanya akibat penghinaan yang dilakukan oleh orang-orang Romawi kepada kaum Muslim dan pemaksaan kepada mereka untuk masuk Kristen. Beliau langsung mengirimkan pasukan untuk menumpas dan menguasai wilayah tersebut (Tarikh ad-Daulah al-‘Aliyah al-Utsmaniyyah, hal.46).
Keempat, seluruh media massa, baik cetak ataupun elektronik, tidak diperkenankan untuk menyiarkan berita dan program apapun yang bertentangan dengan aqidah Islam. Program-program yang berbau klenik dan porno misalnya, tidak akan pernah ditolerir oleh negara. Jika melanggar ketentuan tersebut, maka Khalifah tidak hanya sekedar menghukum pelakunya, namun juga menghentikan operasi media tersebut.
Kelima, negara melarang setiap partai politik, organisasi atau lembaga apapun yang berdiri atas asas selain Islam seperti sekularisme dan komunisme. Hal ini karena eksistensi dan sepak terjang sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh asasnya. Membiarkan kelompok seperti di atas tumbuh sama saja dengan memberikan peluang bagi mereka untuk mengacak-acak aqidah umat Islam. Belum lagi mereka dapat menjadi perpanjangan tangan negara-negara kafir untuk menghancurkan umat Islam. Pengalaman pahit gerakan misionaris di Lebanon di akhir keruntuhan Daulah Utsmaniyah cukup menjadi pelajaran yang sangat berharga.
/Non Muslim dalam Negara Islam/
Pada prinsipnya negara akan menerapkan hukum Islam kepada seluruh warga negaranya, baik Muslim ataupun yang non Muslim. Khusus bagi non Muslim yang dikenal sebagai ahlu dzimmah diperlakukan sejumlah hukum, antara lain:
Pertama, mereka dibiarkan untuk menganut keyakinan mereka dan menjalankan kegiatan ibadah mereka. Mereka tidak boleh sama sekali dipaksa masuk ke dalam agama Islam.
Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair, ia berkata, “Rasulullah ﷺ pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, ‘Siapa saja yang tetap memeluk agama Nashrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya, mereka hanya wajib membayar jizyah.’” (HR. Ibnu ‘Ubaid).
Meski demikian, dakwah kepada mereka tetap dilakukan. Umar bin Abdul Aziz misalnya, telah memberikan bantuan ekonomi dalam jumlah besar kepada negara-negara yang baru dibebaskan dan secara lembut mengajak mereka masuk Islam. Beliau juga memerintahkan kepada para walinya untuk mengajak ahlu dzimmah masuk ke dalam Islam. Mereka yang masuk Islam dididik dengan baik. Beliau misalnya telah mengutus sejumlah fuqaha untuk mendidik penduduk Bar-bar di wilayah Afrika Utara. (Tarikh ad-Daulah al-Umawiyyah, hal. 140).
Kedua, ahlu dzimmah wajib taat dan patuh pada seluruh hukum syara’ yang diterapkan dalam kehidupan publik, seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan sanksi. Sementara dalam urusan yang berkaitan dengan makanan dan pakaian, mereka diberi pengecualian. Mereka diberi keleluasaan untuk mengkonsumsi makanan dan minuman, termasuk babi dan khamr. Demikan pula dengan pakaian, kaum wanitanya tidak dipaksakan untuk memakai jilbab meski tetap diatur agar tidak merusak tatanan sosial masyarakat Islam. Urusan pernikahan dan perceraian di antara mereka juga diatur berdasarkan agama mereka.
Ketiga, kaum Muslim wajib menghormati dan menjaga hak-hak mereka selama mereka melaksanakan kewajiban mereka sebagai ahlu dzimmah. Harta dan darah mereka wajib dijaga.
Diriwayatkan Al-Khathib dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Barangsiapa menyakiti dzimmiy, maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakannya di hari kiamat.” (al-Jaami’ as-Shaghir, hadits hasan).
Kaum Muslim sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam al-Qarafi juga dituntut untuk bersikap baik kepada mereka, seperti menolong mereka dari kesulitan, memberi makanan ketika mereka lapar, dan berbicara kepada mereka dengan sopan. Mereka juga dinasihati dengan tulus dalam berbagai urusan mereka. Di samping itu juga harus dibela dari pihak manapun yang berupaya untuk menyakiti mereka, mencuri harta mereka atau merampas hak-hak mereka. Dengan demikian ahlu dzimmah dapat merasakan keadilan dan kesejahteraan hidup di bawah naungan Islam dan pada akhirnya dapat mendorong mereka untuk masuk Islam secara sukarela, sehingga dengan kuatnya pondasi keimanan sebagi negara perisainya penguasa tidak akan merasa dia yang memilki negara dan menakut-nakutin rakyatnya karena begitu kuatnya akar aqidah islam, orang tua, guru, siswa, suami bahkan anak-anak tidak akan bertindak seenaknya karena adanya taqqarub illah yang begitu tinggi dan pengawasan negara kepada rakyatnya untuk selalu tunduk kepada Allah bukan tunduk pada penguasa, nuansa hubungan pejabat dan rakyat bukan karena ada maunya atau ada kepentinga atau hubungan yang kita saksikan saat ini, pemimpin muncul ketika ada nuansa pemilu janji yang banyak namun di ingkari. Namun karena kesadaran sebagai mahluk Allah. Sehingga pemikiran yang gaji kamu siapa, atau sikap merasa paling hebat, paling NKRI hilang, atau negara yang di gaji musnah karena sejatinya hanya islamlah yang menghargai manusia, menjadikan manusia di gaji layaknya karena keimanan, bukan mengejar materi, bukan menunggu waktu mau pulang. mereka bekerja, beraktivitas, bersikap, bergaul muncul karena nuansa iman. Bukan bekerja atas nama, namun bekerja karena Ridho Allah dan itu hanya dapat dibangn ketika dalam bingkai khilafah bukan demokrasi Wallahu a’lam bishawab.
Komentar
Posting Komentar