Cerpen Karangan: Dey J Kategori: Cerpen Cinta Sedih Lolos moderasi pada: 28 October 2016
Ini adalah kisah sahabatku…
“Jeng, aku cinta padamu.”
Cewek bernama Ajeng itu pun hanya tersenyum. “Mmm, oke. Lalu, apa yang kamu cintai dari diriku? Kecantikanku? Prestasiku? Tubuhku? Kemampuan dan bakat-bakatku? Atau, apa?”
“Wah, pertanyaanmu merendahkan sekali, seakan-akan yang kucintai dari dirimu hanya keindahan tubuhmu atau bakat-bakatmu,” candaku, walau dalam hati kuakui bahwa kelebihan-kelebihan itu juga yang membuatku jatuh cinta padanya.
“Lalu apa?”
“Yang kucintai? Ya, kamu itu, seorang Ajeng seutuhnya, beserta seluruh kelebihan dan kekurangannya.”
Ia tertawa, “Wah, jawabanmu itu tinggi sekali.” Lalu, dengan sedikit menggoda, ia kembali bertanya, “Mmm, memangnya, apa saja kekuranganku yang kamu tahu?”
“Eh, ngg, apa ya? Mmm…”
“Lho, kok bingung? Kalau tidak tahu apa saja kekuranganku, bagaimana kamu bisa mencintaiku seutuhnya, seperti yang kamu bilang tadi?”
“Bukan begitu, Jeng. Yaa, namanya juga sedang jatuh cinta. Rasanya, kekurangan-kekuranganmu itu jadi dapat dimaklumi semuanya.”
“Jadi, cinta membuatmu mampu memalingkan mata dari kekurangan-kekuranganku? Wah, berarti kamu sedang dibutakan oleh cinta dong? Kalau begitu, bagaimana mungkin kamu tahu pasti bahwa akulah yang kamu cintai kalau kamu sendiri sekarang sedang buta?”
Cewek bernama Ajeng itu pun hanya tersenyum. “Mmm, oke. Lalu, apa yang kamu cintai dari diriku? Kecantikanku? Prestasiku? Tubuhku? Kemampuan dan bakat-bakatku? Atau, apa?”
“Wah, pertanyaanmu merendahkan sekali, seakan-akan yang kucintai dari dirimu hanya keindahan tubuhmu atau bakat-bakatmu,” candaku, walau dalam hati kuakui bahwa kelebihan-kelebihan itu juga yang membuatku jatuh cinta padanya.
“Lalu apa?”
“Yang kucintai? Ya, kamu itu, seorang Ajeng seutuhnya, beserta seluruh kelebihan dan kekurangannya.”
Ia tertawa, “Wah, jawabanmu itu tinggi sekali.” Lalu, dengan sedikit menggoda, ia kembali bertanya, “Mmm, memangnya, apa saja kekuranganku yang kamu tahu?”
“Eh, ngg, apa ya? Mmm…”
“Lho, kok bingung? Kalau tidak tahu apa saja kekuranganku, bagaimana kamu bisa mencintaiku seutuhnya, seperti yang kamu bilang tadi?”
“Bukan begitu, Jeng. Yaa, namanya juga sedang jatuh cinta. Rasanya, kekurangan-kekuranganmu itu jadi dapat dimaklumi semuanya.”
“Jadi, cinta membuatmu mampu memalingkan mata dari kekurangan-kekuranganku? Wah, berarti kamu sedang dibutakan oleh cinta dong? Kalau begitu, bagaimana mungkin kamu tahu pasti bahwa akulah yang kamu cintai kalau kamu sendiri sekarang sedang buta?”
Pertanyaannya memang tajam, tetapi suara dan tatapan matanya begitu lembut. Alih-alih merasa diserang, aku justru terdorong untuk mengoptimalkan nalarku demi menjawab pertanyaannya.
“Baik, baik. Akan kucoba untuk menjawabnya. Kekuranganmu? Mmm, pertama, kurang tinggi, cenderung mudah stress, cenderung terlalu ingin sempurna, kurang santai, mmm, kurang rapi…”
Ia pun tertawa dan memperlihatkan kedua lesung di pipinya, manis sekali. “Ternyata kamu perhatian juga ya! Lalu, kalau tahu bahwa aku punya banyak kekurangan, kok kamu bisa jatuh cinta padaku?”
Aduh, susahnya menyatakan cinta pada cewek yang bernalar ini! “Dengan kata lain, yang kamu tanyakan adalah, mengapa aku mencintaimu, begitu?”
Mahluk manis di hadapanku itu hanya tersenyum. Aku pun tersenyum. “Perlukah alasan? Aku tak tahu apa alasan manusia untuk saling benci. Tetapi, untuk saling cinta, perlukah alasan?” Tiba-tiba kata-kata yang pernah kubaca dari sebuah komik meluncur begitu saja dari mulutku.
“Iya, Damar,” katanya sambil tersenyum, “jawabanmu itu tepat sekali. Cinta memang tidak butuh alasan. Tapi, cinta juga tidak mungkin muncul begitu saja, bukan?”
“Apakah itu berarti bahwa aku harus menceritakan satu per satu kecocokan di antara kita? Atau aku cukup menjawab bahwa aku cinta padamu karena kau merasa cocok denganmu?”
“Hmm. Jadi, kamu jatuh cinta padaku karena kamu merasa cocok denganku? Ah, rasanya kok seperti pakaian saja, kalau cocok dibeli? Berarti, kalau sudah tidak cocok, aku dibuang dong?”
“Yaa, itu ‘kan interpretasimu. Jangan salahkan aku atas kesalahan interpretasimu sendiri.”
“Kalau begitu, apa arti ‘cocok’ bagimu?”
“Bagiku, cocok berarti sama dalam hal prinsip, tetapi agak berbeda dalam hal pelaksanaan. Dalam hal cara pandang terhadap hidup, kita sama. Tetapi dalam hal sikap dan kebiasaan, kita agak berbeda. Dan justru karena itulah kita bisa saling melengkapi.”
“Tapi, itu tetap tidak menghilangkan kemungkinanmu untuk membuangku, bukan?”
“Maksudmu?”
“Apa yang akan kamu lakukan kalau dalam perjalanan waktu prinsip hidupku berubah dan tidak lagi cocok denganmu? Apakah kamu lalu tidak lagi mencintaiku?”
Aku tersenyum, entah untuk menenangkan dirinya, ataupun untuk menenangkan diriku sendiri. “Tidak, Ajeng. Bahkan ketika prinsip hidupmu berubah dan tidak lagi cocok denganku, aku akan tetap mencintaimu.”
“Kok bisa?”
“Sebab, yang kucintai adalah dirimu seutuhnya, bukan sekedar prinsip hidupmu.”
Ia tertawa. “Lho, bukannya tadi kamu sendiri yang bilang bahwa kamu cinta padaku karena merasa cocok denganku?”
Ia pun tertawa dan memperlihatkan kedua lesung di pipinya, manis sekali. “Ternyata kamu perhatian juga ya! Lalu, kalau tahu bahwa aku punya banyak kekurangan, kok kamu bisa jatuh cinta padaku?”
Aduh, susahnya menyatakan cinta pada cewek yang bernalar ini! “Dengan kata lain, yang kamu tanyakan adalah, mengapa aku mencintaimu, begitu?”
Mahluk manis di hadapanku itu hanya tersenyum. Aku pun tersenyum. “Perlukah alasan? Aku tak tahu apa alasan manusia untuk saling benci. Tetapi, untuk saling cinta, perlukah alasan?” Tiba-tiba kata-kata yang pernah kubaca dari sebuah komik meluncur begitu saja dari mulutku.
“Iya, Damar,” katanya sambil tersenyum, “jawabanmu itu tepat sekali. Cinta memang tidak butuh alasan. Tapi, cinta juga tidak mungkin muncul begitu saja, bukan?”
“Apakah itu berarti bahwa aku harus menceritakan satu per satu kecocokan di antara kita? Atau aku cukup menjawab bahwa aku cinta padamu karena kau merasa cocok denganmu?”
“Hmm. Jadi, kamu jatuh cinta padaku karena kamu merasa cocok denganku? Ah, rasanya kok seperti pakaian saja, kalau cocok dibeli? Berarti, kalau sudah tidak cocok, aku dibuang dong?”
“Yaa, itu ‘kan interpretasimu. Jangan salahkan aku atas kesalahan interpretasimu sendiri.”
“Kalau begitu, apa arti ‘cocok’ bagimu?”
“Bagiku, cocok berarti sama dalam hal prinsip, tetapi agak berbeda dalam hal pelaksanaan. Dalam hal cara pandang terhadap hidup, kita sama. Tetapi dalam hal sikap dan kebiasaan, kita agak berbeda. Dan justru karena itulah kita bisa saling melengkapi.”
“Tapi, itu tetap tidak menghilangkan kemungkinanmu untuk membuangku, bukan?”
“Maksudmu?”
“Apa yang akan kamu lakukan kalau dalam perjalanan waktu prinsip hidupku berubah dan tidak lagi cocok denganmu? Apakah kamu lalu tidak lagi mencintaiku?”
Aku tersenyum, entah untuk menenangkan dirinya, ataupun untuk menenangkan diriku sendiri. “Tidak, Ajeng. Bahkan ketika prinsip hidupmu berubah dan tidak lagi cocok denganku, aku akan tetap mencintaimu.”
“Kok bisa?”
“Sebab, yang kucintai adalah dirimu seutuhnya, bukan sekedar prinsip hidupmu.”
Ia tertawa. “Lho, bukannya tadi kamu sendiri yang bilang bahwa kamu cinta padaku karena merasa cocok denganku?”
Sial! Kenapa jadi kembali ke awal lagi sih? Aku kesal, tetapi juga setuju dengan pertanyaannya. Ya ampun, begini rupanya kalau jatuh cinta pada seorang cewek yang bernalar, untuk mengungkapkan cinta kepadanya pun butuh nalar.
“Jadi?”
Aku menghela nafas. “Ajeng…”
“Ya?”
“… bolehkah aku bertanya?”
Lagi-lagi ia hanya memberikan senyum manisnya.
“Seberapa penting sih semua pembicaraan ini bagimu? Apakah sebegitu pentingnya bagimu untuk mengetahui mengapa aku mencintaimu? Tidak bisakah kamu langsung saja menyatakan apakah kamu juga mencintaiku atau tidak, sama seperti cewek-cewek pada umumnya?”
“Cewek pada umumnya?” nada suaranya mendadak meninggi, “Ooo, jadi begitu?! Jadi kamu memintaku untuk menjadi cewek pada umumnya, begitu? …”
“Eh, bukan begitu…”
“… Ya sudah, nyatakan saja cinta-setulus-hatimu itu kepada ‘cewek pada umumnya’…”
“… Ajeng, sebentar…”
“… salah alamat namanya kalau kamu menyatakannya kepadaku. Katanya tadi kamu mencintai diriku seutuhnya? Kok sekarang…”
“Ajeng!” bentakku. Dia kaget. Aku juga kaget. Kami terdiam sesaat, lalu aku melanjutkan, “Maaf, sudah membentakmu. Aku, … aku tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan dirimu dengan cewek-cewek lain. Kamu memang berbeda, dan justru itulah yang membuatku mencintaimu. Hanya saja…” Omonganku terputus. Aku bingung bagaimana
merangkainya.
Aku menghela nafas. “Ajeng…”
“Ya?”
“… bolehkah aku bertanya?”
Lagi-lagi ia hanya memberikan senyum manisnya.
“Seberapa penting sih semua pembicaraan ini bagimu? Apakah sebegitu pentingnya bagimu untuk mengetahui mengapa aku mencintaimu? Tidak bisakah kamu langsung saja menyatakan apakah kamu juga mencintaiku atau tidak, sama seperti cewek-cewek pada umumnya?”
“Cewek pada umumnya?” nada suaranya mendadak meninggi, “Ooo, jadi begitu?! Jadi kamu memintaku untuk menjadi cewek pada umumnya, begitu? …”
“Eh, bukan begitu…”
“… Ya sudah, nyatakan saja cinta-setulus-hatimu itu kepada ‘cewek pada umumnya’…”
“… Ajeng, sebentar…”
“… salah alamat namanya kalau kamu menyatakannya kepadaku. Katanya tadi kamu mencintai diriku seutuhnya? Kok sekarang…”
“Ajeng!” bentakku. Dia kaget. Aku juga kaget. Kami terdiam sesaat, lalu aku melanjutkan, “Maaf, sudah membentakmu. Aku, … aku tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan dirimu dengan cewek-cewek lain. Kamu memang berbeda, dan justru itulah yang membuatku mencintaimu. Hanya saja…” Omonganku terputus. Aku bingung bagaimana
merangkainya.
Di hadapanku, Cewek cantik bernama Ajeng itu menatapku dengan tatapan yang menusuk, seolah menodongku untuk menyelesaikan kalimatku.
“… hanya saja…,” kataku sambil berusaha merumuskan apa yang ada di pikiranku.
“Hanya saja apa!?”
“Hanya saja, aku tak tahu apa yang membuatku mencintaimu. Aku tak sanggup lagi menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Nalarku sudah tidak mampu. Pikiranku sudah buntu. Yang kutahu pasti hanya satu, yaitu bahwa aku mencintaimu —entah ini akan memuaskan dirimu atau tidak.” Kutumpahkan uneg-unegku. Kuakui ketidakmampuanku.
“Hanya saja apa!?”
“Hanya saja, aku tak tahu apa yang membuatku mencintaimu. Aku tak sanggup lagi menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Nalarku sudah tidak mampu. Pikiranku sudah buntu. Yang kutahu pasti hanya satu, yaitu bahwa aku mencintaimu —entah ini akan memuaskan dirimu atau tidak.” Kutumpahkan uneg-unegku. Kuakui ketidakmampuanku.
Perasaanku menjadi lebih tenang. Di hadapanku, tatapan matanya pun melembut, namun masih tetap tajam.
“Aku mencintaimu, Ajeng. Masalahnya sekarang adalah…,” aku menghela nafas, “… apakah kamu juga mencintaiku?” Dengan berat, kutanyakan pertanyaan yang dari tadi mengganjal di hatiku,
“Damar,” ucapnya pelan, “apakah kamu tahu, mengapa aku begitu ingin untuk mengetahui mengapa kamu mencintaiku?”
Aku terdiam sebentar, setengah karena berpikir, setengah karena sudah malas bernalar. Akhirnya kujawab, “Tidak tahu.”
Ia kembali tersenyum. Tatapan matanya yang semula tajam, kini menjadi teduh. Dengan lembut, ia lalu berkata, “Karena aku pun mencintaimu.”
“Damar,” ucapnya pelan, “apakah kamu tahu, mengapa aku begitu ingin untuk mengetahui mengapa kamu mencintaiku?”
Aku terdiam sebentar, setengah karena berpikir, setengah karena sudah malas bernalar. Akhirnya kujawab, “Tidak tahu.”
Ia kembali tersenyum. Tatapan matanya yang semula tajam, kini menjadi teduh. Dengan lembut, ia lalu berkata, “Karena aku pun mencintaimu.”
Butuh waktu bagiku untuk mencerna kata-katanya. Ia mencintaiku? Seharusnya, kata-katanya barusan merupakan kata-kata yang sungguh membahagiakan bagiku. Namun, jujur saja, saat ini aku tidak sungguh-sungguh bahagia. Ada sedikit rasa kesal di hatiku. Kenapa sih, dia susah sekali mengakui perasaannya?
“Jadi, kamu juga mencintaiku, Ajeng?”
“Iya,” jawabnya singkat. Kami terdiam, tenggelam dalam perasaan kami masing-masing. Kemudian, ia melanjutkan, “Maka dari itu, Damar, kuminta dengan amat sangat, jawablah pertanyaanku. Apa yang membuatmu mencintaiku?”
“Iya,” jawabnya singkat. Kami terdiam, tenggelam dalam perasaan kami masing-masing. Kemudian, ia melanjutkan, “Maka dari itu, Damar, kuminta dengan amat sangat, jawablah pertanyaanku. Apa yang membuatmu mencintaiku?”
Hah! Bahkan cinta pun tidak dapat mengalahkan nalarnya!? Aku tidak tahu apakah harus bangga ataukah harus merasa kasihan kepadanya. Aku sungguh-sungguh tidak dapat memahami jalan pikirannya.
“Ajeng, aku mencintaimu. Aku benar-benar cinta padamu. Tapi, mohon maaf, nalarku sudah mencapai batasnya. Aku sudah tidak sanggup lagi melanjutkan pembicaraan ini. Selamat tinggal!” Aku lalu berbalik dan beranjak pergi, meninggalkan dirinya.
“Damar!” Dengan setengah berteriak, ia memanggilku. Langkahku terhenti. Aku bingung harus bagaimana. Aku tentu tidak ingin meninggalkan dirinya yang ternyata juga mencintaiku. Tapi jujur saja, aku kesal, mengapa dia tidak menuruti kata hatinya saja dan berhenti bertanya? Kutarik nafas dan kucoba untuk tenang, baru kemudian aku perlahan-lahan membalikkan badan dan menghadapi gadis itu.
“Damar!” Dengan setengah berteriak, ia memanggilku. Langkahku terhenti. Aku bingung harus bagaimana. Aku tentu tidak ingin meninggalkan dirinya yang ternyata juga mencintaiku. Tapi jujur saja, aku kesal, mengapa dia tidak menuruti kata hatinya saja dan berhenti bertanya? Kutarik nafas dan kucoba untuk tenang, baru kemudian aku perlahan-lahan membalikkan badan dan menghadapi gadis itu.
Tatapannya melekat erat kepadaku, membuatku sadar betapa ia pun merasa kesal dan kecewa, entah kepadaku, entah kepada situasi ini, ataupun kepada dirinya sendiri. Matanya yang tadi teduh, kini berkaca-kaca. Walau demikian, ia tetap mencoba untuk bersikap tenang dan anggun. Melihat sikapnya yang seperti ini, kekesalanku sedikit memudar. Dengan berat, gadis di depanku itu lalu melanjutkan, “Apakah kamu benar-benar sudah tidak ingin lagi menjawab pertanyaanku?”
Aku menarik nafas. Kucoba untuk menata hatiku sambil merangkai kata-kata.
“Ajeng, kalau kamu sudah mengetahui bahwa aku dan kamu sama-sama mencintai, masih sebegitu pentingkah jawabanku bagimu? Bukankah pengetahuan bahwa kita saling mencintai itu sudah cukup untuk membuat kita dapat saling memiliki?”
“Ajeng, kalau kamu sudah mengetahui bahwa aku dan kamu sama-sama mencintai, masih sebegitu pentingkah jawabanku bagimu? Bukankah pengetahuan bahwa kita saling mencintai itu sudah cukup untuk membuat kita dapat saling memiliki?”
Ia hanya diam, tetapi aku paham apa maksudnya.
“Ajeng, aku minta maaf. Aku sudah tidak bisa melanjutkan pembicaraan ini lagi. Kalau kamu memang mencintaiku…” Aku berusaha untuk menemukan kata-kata yang sesuai, “…berdoalah supaya suatu saat nanti, aku bisa memberikan jawaban yang memuaskan bagimu … sehingga kita dapat saling memiliki.” Kemudian, dengan berat dan pelan, aku berkata, “Selamat tinggal, Ajeng.”
Setelah berkata demikian, aku pun meninggalkan dirinya. Mataku berkaca-kaca. Kurasa, matanya pun berkaca-kaca. Tapi entahlah, aku tak tahu. Apa yang kurasakan saat ini pun aku tidak tahu. Yang kutahu dengan pasti adalah bahwa saat ini aku sama sekali tidak merasa bahagia. Aku sungguh-sungguh merasa tidak bahagia.
Tanpa sadar, air mata mulai menetes. Aku segera mengusapnya. Yah, walaupun sedih, terselip juga sebuah doa di hatiku: semoga suatu saat nanti aku sungguh-sungguh bisa memuaskan pertanyaanmu, Ajeng.
Tanpa sadar, air mata mulai menetes. Aku segera mengusapnya. Yah, walaupun sedih, terselip juga sebuah doa di hatiku: semoga suatu saat nanti aku sungguh-sungguh bisa memuaskan pertanyaanmu, Ajeng.
—
Sayangnya, Tuhan berkehendak lain. Beberapa hari setelah menceritakan pengalamannya itu kepadaku, sahabatku menjadi korban ganasnya lalu lintas ibukota. Ia terserempet sesama pengendara sepeda motor dan menabrak pagar pengaman jalan. Vespa kesayangannya ringsek, demikian juga tubuhnya. Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, sahabatku pun meninggal.
Pada hari pemakamannya, gadis manis bernama Ajeng itu juga hadir. Ia tetap setenang dan seanggun yang sahabatku ceritakan. Setelah rangkaian upacara berakhir, ia menatap lekat-lekat pusara sahabatku, mungkin seperti ketika terakhir kalinya ia menatap mata sahabatku. Hanya saja, saat ini matanya penuh berlinangan air mata.
Walaupun tidak begitu kenal, aku lalu memberanikan diri untuk menhibur dirinya. Kami berangkulan dan saling menguatkan. Kemudian, entah karena kebetulan atau karena ia tahu bahwa aku mengetahui percakapannya dengan sahabatku, ia berkata kepadaku, “Yang kumaksudkan hanya satu, yaitu supaya dia mencintaiku dengan sepenuh hati dan sepenuh nalar, sama seperti cintaku kepadanya…” Ia menghela nafas dan dengan nada sesal, ia melanjutkan, “Tapi sayang, ia tidak memahami maksudku…” Setelah berkata demikian, gadis manis itu pun berpamitan lalu pulang.
Kuiringi kepergiannya dengan pandangan mataku. Ah, betapa malangnya nasibmu! Gadis yang bernalar di hatinya telah memberikan seluruh hati dan nalarnya kepada sahabatku demi rasa cintanya. Namun sayang, sahabatku baru mengharapkan hatinya dan belum siap menerima nalarnya…
“Es akan mencair karena airnya sendiri”
“Kau bisa menyangkal cintamu, kau bisa menyangkal dirimu sendiri, kau bisa melarikan diri sekuat tenaga.. tapi kau akan hidup dan mati dengan cinta yang sama.”
“Kau bisa menyangkal cintamu, kau bisa menyangkal dirimu sendiri, kau bisa melarikan diri sekuat tenaga.. tapi kau akan hidup dan mati dengan cinta yang sama.”
Dey J. (nama pena)
Cerpen Karangan: Dey J.
Facebook: deasy junaedi
Facebook: deasy junaedi
Cerita Gadis Yang Bernalar Di Hatinya merupakan cerita pendek karangan Dey J, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
Komentar